JAM-Pidum Menyetujui 3 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Pencurian di Salatiga

SAMBAR.ID | Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 3 (tiga) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu 23 April 2025.


Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Stefanus Butte anak dari Sem Butte (Alm) dari Kejaksaan Negeri Salatiga, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) Ke-3 KUHP Atau Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.


Kronologi bermula pada hari Senin 14 Oktober 2024, sekitar pukul 20.45 WIB di Asrama Sekolah Tinggi Theologi Salatiga, Tersangka memanfaatkan situasi kamar kosong untuk melakukan aksi pencurian sejumlah barang milik mahasiswa.


Pada saat peristiwa itu terjadi, tiga mahasiswa sekaligus saksi korban, yakni Andi Putra Jaya Lase, Paul Jhon Henri Lukas, dan Ariel Edward Andreano, meninggalkan kamar asrama mereka untuk mengikuti kegiatan ibadah. Tanpa mengunci pintu kamar, mereka tidak menyadari bahwa seseorang akan masuk dan mengambil barang-barang berharga mereka.


Dalam kondisi kamar tidak terkunci, Tersangka masuk dan mengambil empat barang elektronik, yakni dua unit laptop (Avita dan Asus) serta dua unit handphone (Infinix dan Vivo). Setelah ibadah usai, para korban mendapati barang-barang mereka telah hilang dan segera melaporkan kejadian ini ke Polres Salatiga.


Polisi pun melakukan penyelidikan intensif dan berhasil menangkap pelaku pada 10 Februari 2025, hampir empat bulan setelah kejadian, di sebuah warung mie ayam di Salatiga. Saat ditangkap, tersangka diketahui masih menggunakan sebagian barang hasil curiannya.


Barang hasil pencurian digunakan dan dijual oleh Tersangka secara bertahap. Laptop merk Avita dan handphone Infinix digunakan pribadi oleh Tersangka. Sementara itu, handphone Vivo milik korban Andi dijual melalui Facebook Marketplace. Menariknya, Tersangka memanfaatkan handphone Infinix milik korban Paul untuk memotret dan mengunggah foto barang curian tersebut ke akun Facebook miliknya.


Beberapa hari kemudian, ada seseorang yang menghubungi tersangka melalui WhatsApp untuk membeli handphone tersebut. Kesepakatan transaksi dilakukan secara langsung (COD) di depan kampus UKSW Salatiga. Handphone itu pun dijual seharga Rp700.000, kepada seorang pembeli yang tidak dikenal oleh Tersangka.


Sementara itu, laptop Asus warna putih milik korban lainnya ternyata tidak bisa menyala. Tersangka berusaha membongkar dan memperbaiki laptop tersebut sendiri, namun gagal. Akibatnya, laptop hanya tersisa komponen LCD, sedangkan casing dan keyboard dibuang ke tempat sampah umum dekat tempat tinggal Tersangka karena dianggap tidak bisa digunakan lagi.


Akibat perbuatannya, para korban diperkiraan mengalami total kerugian mencapai Rp10.400.000 (sepuluh juta empat ratus ribu rupiah).


Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga, Sukamto S.H., M.H., Kasi Pidum Ardhana Riswati Prihantini, S.H. M.H. serta Jaksa Fasilitator Desta Kurniawan, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.


Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.


Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Dr. Ponco Hartanto, S.H., M.H.


Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 23 April 2025.


Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 2 (dua) perkara lain yaitu:


Tersangka Edi Raharjo bin Budi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Grobongan, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.


Tersangka Hendra Paisol bin Maridun dari Kejaksaan Negeri Penukal Abab Lematang Ilir, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:


Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;


Tersangka belum pernah dihukum;


Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;


Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;


Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;


Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;


Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;


Pertimbangan sosiologis;


Masyarakat merespon positif.


“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.

(Dzoel sb)

Lebih baru Lebih lama