Sambar.Id Jakarta || Pemberantasan korupsi di Indonesia selalu menjadi sorotan, terutama karena banyaknya kasus besar yang diungkap aparat penegak hukum (APH) seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, di balik gegap gempita penindakan, muncul pertanyaan mendasar yang masih belum terjawab: ke mana perginya uang hasil korupsi yang telah disita?
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), Ahmad Hariri, mengungkapkan bahwa pengembalian uang hasil korupsi ke negara masih sangat minim, terutama dari Kejagung.
Padahal, Kejagung kerap menangani kasus dengan nilai kerugian negara yang sangat besar dan aktif menyita aset hasil kejahatan korupsi.
Transparansi Pengembalian Aset: Masih Jauh dari Harapan Jika merujuk pada data periode 2019-2024, KPK melaporkan pengembalian uang hasil korupsi sebesar Rp2,5 triliun.
Sayangnya, Kejagung tidak banyak mempublikasikan data pemulihan aset dari kasus yang mereka tangani. Hal ini menimbulkan kecurigaan di masyarakat bahwa uang yang seharusnya dikembalikan ke kas negara justru tidak terkelola dengan baik.
Ketidaktransparanan ini melahirkan persepsi bahwa pemberantasan korupsi lebih bersifat seremonial daripada upaya nyata untuk mengembalikan hak rakyat. Jika pemerintah benar-benar serius dalam pemulihan aset, maka harus ada mekanisme pelaporan yang jelas mengenai jumlah aset yang telah disita, bagaimana aset tersebut dikelola, dan ke mana aliran dana hasil penyitaan itu bermuara.
Hak Daerah dalam Pemanfaatan Dana Korupsi
Dalam berbagai kasus korupsi, daerah yang terdampak seharusnya memiliki hak atas dana hasil sitaan untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan. Namun, hingga kini, belum ada mekanisme yang jelas mengenai alokasi dana tersebut untuk daerah yang dirugikan akibat praktik korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengamanatkan bahwa seluruh aset yang berhasil disita dan dikembalikan harus masuk ke kas negara.
Selain itu, Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menegaskan bahwa uang hasil korupsi yang telah dirampas seharusnya digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat.
Namun, tidak ada aturan spesifik yang mengatur bagaimana daerah yang terdampak langsung dari korupsi dapat memanfaatkan dana tersebut.
Sebagai contoh, dalam kasus korupsi dana infrastruktur di daerah, masyarakat yang dirugikan karena pembangunan yang mangkrak seharusnya mendapatkan prioritas dalam alokasi dana hasil sitaan.
Jika dana ini bisa dikembalikan ke daerah untuk membangun kembali proyek yang terbengkalai, maka efek jangka panjangnya akan lebih terasa bagi masyarakat.
Tanggung Jawab Kemenkeu dalam Pengelolaan Dana Hasil Korupsi Selain KPK dan Kejagung, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga memiliki peran penting dalam pengelolaan uang hasil korupsi. Sebagai pengelola utama keuangan negara, Kemenkeu seharusnya memiliki mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel dalam mengalokasikan dana tersebut.
Sebagai contoh, dalam praktik di negara-negara lain, dana hasil korupsi sering dialokasikan untuk program sosial, pembangunan infrastruktur, dan pemulihan ekonomi daerah terdampak.
Indonesia bisa meniru model ini dengan membuat kebijakan yang lebih jelas mengenai distribusi dana hasil penyitaan.
Pemerintah bisa menerapkan skema alokasi dana sitaan korupsi ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara proporsional. Hal ini penting agar pengembalian dana tersebut tidak hanya berakhir sebagai angka statistik di laporan keuangan, tetapi benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Rekomendasi untuk Perbaikan
Agar uang hasil korupsi benar-benar kembali ke rakyat, ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan:
1. Mekanisme Transparansi – Kejagung dan KPK harus lebih terbuka dalam melaporkan jumlah aset yang disita dan bagaimana dana tersebut digunakan.
2. Pengalokasian untuk Daerah Terdampak – Pemerintah harus mengatur regulasi yang memungkinkan daerah yang terdampak korupsi untuk mendapatkan bagian dari dana pemulihan aset.
3. Peran Kemenkeu yang Lebih Proaktif – Kemenkeu harus menciptakan sistem yang memastikan bahwa uang hasil korupsi digunakan untuk kepentingan publik secara efektif.
4. Audit dan Pengawasan – Lembaga independen seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus lebih aktif dalam mengawasi penggunaan dana hasil korupsi agar tidak terjadi penyelewengan baru.
Jika langkah-langkah ini dapat diimplementasikan, maka kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi akan meningkat. Tanpa langkah nyata, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi panggung sandiwara tanpa manfaat bagi rakyat.
Penulis Rikky Fermana, S. Ip. C. Med. C. Par. C. Ij. C. PW