Sambar.Id Gorontalo - Menurut Jhojo, pernyataan tersebut menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip organisasi kewartawanan.
Jhojo mengungkapkan bahwa jika merujuk pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi pers khususnya di PJS, ada 2 (dua) hal yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi organisasi kewartawanan, khususnya PJS.
“Dalam aturan organisasi, berulang-ulang kali saya menyampaikan bahwa pengurus PJS dilarang menyinggung atau menempatkan diri dalam persoalan bisnis. Fokus kita adalah pada pembinaan wartawan, bukan ikut campur dalam urusan kontrak kerja sama media,” ujar Jhojo.
Menurutnya, sesama organisasi kewartawanan seharusnya lebih banyak melakukan sosialisasi dan mendorong wartawan yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW), bukan justru mempersempit ruang gerak mereka.
Jhojo menilai jika pernyataan Ketua PWI Gorontalo hanya dikhususkan untuk membahas kontrak kerja sama media, ada indikasi tindakan tendensius dalam hal bisnis to bisnis.
“Ini bisa menjadi alat bagi pihak tertentu untuk mengumpulkan semua kontrak media demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” tegasnya.
Atas dasar itu, Jhojo berharap agar pengurus PWI Gorontalo segera meninjau kembali langkah yang diambil Ketua PWI Fadli Poli. Sebab menurutnya pernyataan tersebut bisa merugikan banyak pihak.
Terakhir Jhojo menegaskan bahwa jika memang ada perlindungan terhadap Ketua PWI dalam hal ini, maka dirinya menginstruksikan seluruh pengurus PJS di Gorontalo untuk menghibahkan kontrak kerja sama yang telah terjalin dengan pemerintah daerah kepada kepada Ketua PWI Gorontalo.
“Kalau memang semua kontrak kerja sama media harus dikendalikan oleh Ketua PWI Gorontalo, maka silakan saja diambil semuanya. Kami akan tetap bekerja sesuai dengan etika jurnalistik yang benar,” pungkasnya.
Tanggapan Ketua PJS Gorontalo tersebut, sebagai respon terhadap pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Gorontalo, Fadli Poli, yang menyoal kerjasama media dengan DPRD Provinsi Gorontalo.
Fadli menilai Ketua DPRD Provinsi Gorontalo mengabaikan standar perusahaan pers dalam menjalin kerjasama dengan media.
Fadli menyoroti banyak media yang menjalin kerjasama dengan kehumasan DPRD tidak memenuhi standar perusahaan pers sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 03/PERATURAN-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers.
“Sebagai lembaga legislatif, DPRD seharusnya tunduk pada regulasi yang berlaku, termasuk dalam memilih media yang memenuhi kualifikasi sesuai aturan Dewan Pers. Namun, hingga saat ini, masih ada sekitar 35 media yang bekerja sama dengan DPRD, dan banyak di antaranya tidak memiliki legalitas serta kompetensi jurnalistik yang jelas,” terang Fadli Fadli, dilansir dari pojok6.id Selasa 18 Maret 2025.
Menurut Fadli, kurangnya seleksi ketat dalam pemilihan media juga berpotensi menimbulkan tuntutan ganti rugi (TGR) akibat penggunaan anggaran yang tidak sesuai prosedur.
Fadli menjelaskan, pada tahun 2024, Dewan Pers kembali memperkuat regulasi dengan mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor: 03/PERATURAN-DP/IV/2024 tentang Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional.
Fadli juga merekomendasikan agar Sekretariat DPRD mengimplementasikan Petunjuk Teknis dari Kominfo RI (sekarang Komdigi RI) mengenai pengelolaan hubungan media dan kehumasan pemerintah daerah.
"Dalam juknis tersebut disebutkan bahwa media yang dapat bekerjasama setidaknya telah terverifikasi administrasi di Dewan Pers," jelas Fadli.
Informasi terbaru, pimpinan organisasi perusahaan media serta organisasi pers dalam waktu dekat akan diundang oleh Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Thomas Mopili.
Hal ini dimaksudkan, DPRD Provinsi Gorontalo ingin memahami teknis kerja sama media sesuai aturan yang berlaku.*
( S. 10 )