Wartawati Diduga Dianiaya dan Diancam Saat Liputan Tambang Pasir Ilegal di Batam

SAMBAR.ID, BATAM – Kebebasan pers kembali mendapat ancaman setelah seorang wartawati, Hany Sitanggang, mengalami intimidasi dan kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik. 

Kejadian ini terjadi pada Rabu, (12/2/2025), di lokasi tambang pasir ilegal di Kampung Tua Panglong, Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. 

Hany yang juga menjabat sebagai Humas Pokdar Kamtibmas Bhayangkara Resort Barelang diusir dan diancam oleh sejumlah pekerja tambang.

Menurut Hany, insiden bermula ketika seorang pria berambut gondrong, yang merupakan pekerja tambang, mendatanginya dan melontarkan kata-kata kasar. 

Kemudian, pria tersebut menunjukkan sikap arogan dan mengajak pekerja lainnya untuk mengusir Hany dari lokasi. 

Situasi semakin memanas ketika delapan pekerja tambang lainnya terpancing emosi dan mulai mengintimidasi Hany. 

Tiga orang di antaranya bahkan mengangkat cangkul sambil berteriak. 

Salah seorang pekerja bertindak kasar dengan memukul kepala Hany dua kali hingga topi yang dikenakannya terjatuh ke tanah.

Tak hanya itu, beberapa pekerja juga mengeluarkan ancaman serius terhadap Hany dan rekan-rekan medianya. 

"Sampaikan kepada kawan-kawan media, jangan berani menginjakkan kaki di tambang ini, kami bunuh nanti," ujar salah seorang pekerja. 

Hany merasa peristiwa ini merupakan bentuk nyata dari upaya menghalangi kerja jurnalistik dan sikap premanisme di lokasi tambang ilegal.

Hany menjelaskan bahwa sebelum insiden tersebut, ia tengah berbincang dengan dua pekerja tambang dan seorang aparat hukum berinisial FJR yang mengenakan kaos olahraga loreng. 

Namun, tiba-tiba datang sekelompok pekerja yang tampaknya diprovokasi oleh seorang pria bernama Sangkal, yang diduga sebagai pengelola tambang ilegal. 

"Situasi langsung berubah ketika mereka mulai mengusir dan mendorong saya," kata Hany.

Menurut Hany, aktivitas tambang ilegal di lokasi tersebut dikelola oleh seseorang yang diduga memiliki keterkaitan dengan aparat penegak hukum. 

Tambang yang beroperasi secara ilegal ini telah merusak lingkungan dan menyebabkan berbagai masalah, termasuk polusi udara dan potensi bencana longsor. 

"Dampaknya sangat merugikan masyarakat, mulai dari pencemaran air hingga rusaknya jalan akibat aktivitas truk pengangkut pasir," tambahnya.

Warga setempat juga mengungkapkan keresahan mereka terhadap keberadaan tambang ilegal tersebut. 

Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa tambang ini beroperasi tanpa tindakan hukum yang jelas. 

"Mereka merasa kebal hukum, padahal dampaknya sangat merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar," ujar warga tersebut.

Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa ada sekitar 20 titik tambang pasir ilegal yang beroperasi di kawasan itu. 

Setiap hari, belasan truk keluar masuk mengangkut pasir dari lokasi tambang. 

Keuntungan dari bisnis ini diperkirakan mencapai Rp1,8 miliar per tahun dengan harga jual pasir antara Rp750 ribu hingga Rp1,2 juta per truk.

Aktivitas tambang ilegal ini melanggar UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Para pelaku bisa dikenakan hukuman lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 juta. 

Jika terbukti merusak hutan lindung, mereka juga dapat dijerat dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp2,5 miliar.

Hany meminta aparat penegak hukum segera mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku. 

"Kami berharap Kapolsek Nongsa dan pihak terkait tidak tinggal diam atas intimidasi yang kami alami. Ini bukan sekadar serangan terhadap individu, tetapi juga terhadap kebebasan pers," tegasnya. 

Hingga saat ini, tambang ilegal tersebut masih beroperasi tanpa adanya tindakan hukum yang nyata.


Laporan : (Gh) 
Lebih baru Lebih lama