SAMBAR.ID, Morowali, Sulteng - Konflik agraria dan krisis penghidupan terus memanas di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Selama sepuluh Tahun terakhir, ekspansi sektor tambang dan perkebunan sawit memicu krisis ekologi yang mengancam kehidupan masyarakat setempat.
Di tengah polemik ini, Serikat Hijau Indonesia (SHI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), dan Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA) bersatu mendampingi masyarakat dari tiga desa—Torete, Buleleng, dan Laroenae di Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali.
Ketiga desa tersebut kini tengah menempuh langkah hukum melawan PT Teknik Alum Servis (PT TAS), perusahaan tambang yang berkantor di Desa Buleleng, terkait gugatan harga tanah dalam kasus perdata. Masyarakat menuntut transparansi dan keadilan dalam prosedur ganti rugi lahan perkebunan dan lahan budel.
Agusalim, S.H., Seorang Advokat Rakyat yang telah lima tahun terakhir fokus pada advokasi hukum petani di wilayah tersebut, menegaskan komitmennya untuk mendampingi masyarakat.
"Kehadiran kami di sini bukan sekadar formalitas. Kami datang untuk memastikan hak-hak masyarakat dari tiga desa ini terlindungi dan mendapatkan keadilan yang sepatutnya," ujarnya kepada sejumlah awak media, Kamis (20/02/2025).
Agusalim, yang juga aktif di Confederation of Lawyer Asia Pacific (COLAP), mengungkapkan bahwa banyak kasus agraria di Morowali dan Morowali Utara yang telah memasuki ranah pengadilan dengan hasil yang berpihak pada rakyat.
"Perjuangan hukum advokasi petani tidak pernah sia-sia. Kami akan terus berada di garda terdepan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat," tambahnya penuh semangat.
Kasus ini tidak hanya sekadar sengketa tanah, tetapi juga menyeret dugaan keterlibatan oknum pemerintah desa dalam proses ganti rugi lahan. Masyarakat berharap proses hukum berjalan transparan dan bebas dari intervensi, agar hak-hak mereka tetap terjaga.
Kolaborasi antara SHI, SPHP, dan AGRA memberikan harapan baru bagi masyarakat desa dalam melawan ketidakadilan. Mereka berharap tanah yang menjadi sumber penghidupan tetap berada dalam penguasaan masyarakat, bukan sekadar angka dalam proposal kompensasi yang tidak adil.
Hingga berita ini naik tayang, belum ada konfirmasi resmi dari pihak PT TAS maupun pemerintah desa setempat terkait kasus ini.(Red/**)
Source : Intergreenmedia.co.id