Sambar.Id Jambi - Hamdi Zakaria, A.Md Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat TMPLHK Indonesia yang notabene juga sebagai Jurnalis Senior, Kaperwil media Patroli86.com untuk Provinsi Jambi, dalam meeting awal tahun TMPLHK Indonesia, didepan seluruh anggotanya mengatakan dan mengungkapkan, konflik kelapa sawit di Provinsi Jambi umumnya bersumber dari rasa ketidakadilan terkait bagaimana perusahaan mendapatkan lahan dan bagaimana manfaat dari penggunaan lahan tersebut dibagikan.
Konflik merugikan perekonomian dan individu secara signifikan, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan.
Mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik-konflik ini adalah sebuah tugas yang mendesak, namun juga tidak mudah.
Hamdi memaparkan, sektor perkebunan kelapa sawit mengalami pertumbuhan begitu cepat. Akibatnya, wajah pedesaan di Provinsi Jambi berubah. Di sisi lain, perluasan area perkebunan tersebut memicu konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui dari berbagai sumber, selama ini tim peneliti yang tergabung dalam penelitian Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI) telah merilis laporan terbaru secara daring tentang bagaimana karakter umum konflik kelapa sawit di berbagai bagian Indonesia, apa yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan, dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut.
Seperti dari 32 kasus yang diteliti di Kalbar oleh POCAJJ ada 21 kasus atau 66 persen keluhannya adalah permasalahan skema plasma, 15 kasus atau 47 persen terkait penyerobotan lahan. Hampir semua kasus konflik melibatkan dua atau lebih keluhan sekaligus. Sehingga jumlah persentasenya melebihi 100 persen, kata Hamdi.
Hamdi Zajaria juga menjelaskan, keluhan pelaksanaan skema bagi hasil (plasma) seringkali berujung konflik, hal ini dipicu, beberapa perusahaan diduga tidak merealisasikan lahan plasma seperti yang sudah mereka janjikan, lahan plasma direalisasikan, tapi keuntungan yang dibagikan ke masyarakat tidak ada atau terlalu kecil, koperasi yang dibentuk untuk mengelola skema plasma terindikasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena anggota masyarakat yang menjalankan koperasi tersebut tidak membagikan keuntungan secara transparan kepada anggotanya.
Sementara penyerobotan lahan, keluhan terbanyak berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan (atau tidak mendapatkan) persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan.
Meskipun perusahaan telah diwajibkan baik secara hukum maupun standar industri kelapa sawit untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, tidak semua perusahaan melakukan upaya tersebut, sehingga masyarakat merasa bahwa mereka dicurangi atas tanah mereka.
Dari keluhan tersebut, solusi apa yang umumnya diminta oleh masyarakat? Temuan penting dari studi ini adalah bahwa dalam menyuarakan keluhan yang disebutkan di atas, secara umum masyarakat tidak menolak pembangunan kelapa sawit atau meminta penghentian operasi perkebunan.
Dalam banyak kasus, permintaan utama masyarakat adalah untuk mendapatkan timbal balik yang lebih baik dari manfaat perkebunan kelapa sawit, misalnya, masyarakat menginginkan pembagian keuntungan yang lebih atau implementasi skema plasma yang lebih baik.
Selain itu, masyarakat juga menuntut kompensasi yang lebih baik atas tanah mereka yang hilang, meminta (sebagian) dari tanah mereka dikembalikan, dan meminta perusahaan agar lebih banyak berkontribusi kepada masyarakat lokal dalam hal peluang kerja dan manajemen buruh yang lebih baik.
Pola ini menunjukkan juga bahwa pada umumnya masyarakat tidak menginginkan perkebunan untuk hengkang secara keseluruhan. Sebaliknya, mereka ingin mendapatkan timbal balik yang lebih baik atas tanah yang telah mereka kontribusikan untuk pembangunan perkebunan sawit, ungkap Hamdi.
Mari cari cara Penyelesaian konflik, tegas Hamdi Zakaria.Secara umum, konflik kelapa sawit jarang terselesaikan.
Di Tanjab Barat misalnya, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan, prosesnya pun sangat lama.
Hamdi menjelaskan, bahwa salah satu alasan penting dari banyaknya konflik yang belum terselesaikan ini adalah karena pihak berwenang di tingkat lokal seringkali kurang berhasil dalam memfasilitasi proses penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat.
Meskipun upaya fasilitasi dan mediasi sering dilakukan di Provinsi Jambi dari upaya fasilitasi oleh pemerintah daerah, DPRD dan polisi untuk menengahi konflik, hanya beberapa kasus di mana kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai dan diimplementasikan.
Warga Desa Sogo misalnya, dulu pernah mendirikan tenda saat melakukan aksi unjuk rasa di lahan perkebunan kelapa sawit PT Bukit Bintang Sawit (BBS), Kumpeh, Muaro Jambi, pada Pebruari tahun 2019 lalu. Juga di PT. DAS Tungkal ulu oleh 9 desa, juga PT. CKT Muaro Papalik, Tanjabar baru baru ini, oleh warga Desa Rantau Badak.PT. TML oleh warga desa Kuala Dasal.
Masih kuat temukan bahwa secara umum mekanisme resolusi konflik yang ada untuk penyelesaian konflik kelapa sawit-pengadilan, fasilitas pengaduan RSPO dan mediasi informal oleh pemerintah lokal masih belum efektif di Jambi.
Alasan lain mengapa banyak konflik belum terselesaikan adalah sulitnya masyarakat mengakses mekanisme resolusi konflik formal seperti pengadilan dan fasilitas penyelesaian sengketa RSPO.
Mekanisme tersebut jarang digunakan. Belum ada kasus yang dibawa ke pengadilan dan kasus ke RSPO di Provinsi Jambi. Karena kombinasi beberapa faktor seperti kendala hukum, biaya, kekurangan percayaan, dan kerumitan prosedur membuat masyarakat enggan menggunakan mekanisme ini.
Selain itu, ketika masyarakat menang di pengadilan misalnya, putusan pengadilan seringkali tidak diimplementasikan.
Sebaliknya, bahwa mediator profesional dengan kapasitas yang terlatih untuk memediasi konflik, jauh lebih lebih efektif dalam memfasilitasi penyelesaian konflik kelapa sawit, ungkap Hamdi Zakaria.
Untuk itu, TMPLHK Indonesia memberikan beberapa rekomendasi tentang bagaimana pencegahan penyelesaian konflik dapat ditingkatkan.
Untuk mencegah konflik lebih lanjut, laporan kebijakan ini merekomendasikan agar pemerintah daerah dapat memastikan bahwa perusahaan benar-benar mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau FPIC dari masyarakat setempat sebelum memulai operasi dan memantau dengan baik implementasi skema kerjasama inti-plasma.
Untuk meningkatkan penyelesaian konflik, laporan ini merekomendasikan perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten, meningkatkan kapasitas pihak berwenang di tingkat lokal dalam menyelesaikan konflik secara baik, pemerintah lokal atau kabupaten agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik.
Selain itu perlu penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis.
Disbun dan pemerintah kabupaten harus yang lebih memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik. Sebab hampir semua wewenang evaluasi berada di pemerintah kabupaten, ungkap Hamdi Zakaria
Hamdi menyebut, pemerintah kabupaten bisa mengevaluasi, apakah perusahaan tersebut telah memberikan manfaat kepada semua pihak, artinya perusahaan untung, masyarakat sejahtera dan ekonomi maju. Hal ini karena yang memberi izin itu di kabupaten, sebab punya areal. Evaluasi pemda ini yang paling strategis dan itu sah secara hukum.
Menurut Hamdi, semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan. Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan. Tapi perusahaan juga harus dilindungi, sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas.
Hamdi mengatakan dalam upaya penyelesaian konflik perkebunan kelapa sawit, pemerintah kabupaten lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam melakukan mediasi dan pendekatan terhadap kedua belah pihak yang berselisih.
Menurut Hamdi, sebagian besar konflik di daerah memang lebih disebabkan penyerobotan lahan dan tumpang tindih lahan transmigrasi. Dan sekarang lebih banyak pada konflik bagi hasil plasma. Selain itu, konflik juga terjadi antar perusahaan yang berdampingan.
Selain itu, belakangan muncul konflik baru, yakni muncul akibat takeover atau peralihan manajemen perusahaan. Hal ini menjadi tantangan baru dalam penyelesaian konflik.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah terus melakukan mediasi, agar masalah tersebut bisa terselesaikan.
Konflik terjadi karena mayoritas hutan tidak ada bukti sertifikat, namun kemudian diklaim lahan masyarakat. Hal ini yang jadi sengketa. Sementara jika dibawa ke pengadilan yang menganut hukum positif.
Untuk itu, bila kepastian lahan dan hukum dapat diwujudkan, maka resolusi konflik akan menjadi lebih mudah, tutup Hamdi Zakari.
Tarmizi