SAMBAR.ID, Palu, Sulteng - Ketua Wilayah Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Provinsi Sulawesi Tengah, Ir H. Musliman, MM menyesalkan soal usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 soal Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Dimana di pasal tersebut menyisipkan poin kontroversial, yakni tambahan Pasal 51A yang memberikan prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara ke perguruan tinggi alias universitas.
Menurut Wakil Rakyat Partai Golkar Sulteng itu, konsep 'Prioritas' bisa memiliki banyak multi tafsir, salah satunya adalah prioritas dalam arti melanggar peraturan perundang-undangan. Sebab dengan mengutamakan sesuatu tanpa mempertimbangkan keahlian dan tugas fungsional, kata Prioritas bisa membias alias melenceng.
Menurutnya agak rancuh kalau perguruan tinggi (PT) dilibatkan dalam usaha pertambangan. Padahal tugas PT menurut undang-undang adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah, kalau kita bicara mencerdaskan kehidupan bangsa, maka yang terjadi sekarang itu sudah terlaksana.
"Mencerdaskan itu kan memberikan pendidikan yang baik, edukasi yang , memberikan pemahaman yang baik bagaimana daerah kita, bagaimana pemerintahannya, perusahaannya, bagaimana mendidik anak-anak, mencetak kader-kader terbaik," ujar Musliman saat ditemui media di salah satu warkop di Palu, Sabtu (25/1/2025).
Anggota Komisi III DPRD Sulteng ini juga menjelaskan malaupun maksud dan tujuan dari pasal yang disisipkan itu adalah untuk membantu perguruan tinggi dalam hal bantuan dana, hal itu tidak dibenarkan.
"Menurut saya itu bukan jalan keluar yang terbaik.Kenapa? Karena itu bertentangan dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi)," jelasnya kepada awak media.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Sulteng itu juga pun mengusulkan, jika pemerintah ingin memberikan bantuan kepada perguruan tinggi, jangan sampai menyimpang dari Tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
"Kalau ini bukan profesi, bukan tugas pokok, bukan sesuatu yang ditekuni maka bukan itu anjurannya.Meski ada ilmunya. Karena menurut saya di pertambangan ada tiga hal yang harus dimiliki,Pertama, punya potensi,Kedua, harus punya teknologi, ketiga harus punya modal uang," paparnya.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Tadulako (Untad) Palu, Prof. Dr. Slamet Riadi Cante, M.Si. menilai pemberian hak pengelolaan pertambangan kepada perguruan tinggi merupakan langkah keliru yang bertentangan dengan Tridharma Perguruan Tinggi.
"Perguruan tinggi harus menjalankan roda Tridharma, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemberian hak pengelolaan pertambangan justru menggeser fokus utama," ujar Prof. Slamet juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Ikatan Administrasi Publik Indonesia (IAPA).
Menurutnya, pemerintah seharusnya memperkuat pendanaan riset ketimbang memberikan hak pengelolaan pertambangan kepada perguruan tinggi.
"Riset merupakan salah satu pilar utama Tridharma. Jika negara ingin berkontribusi lebih, negara harus mendukung riset perguruan tinggi dengan memperkuat pendanaannya. Fokus perguruan tinggi adalah pada transfer ilmu, riset, dan pengabdian kepada masyarakat, bukan bisnis pertambangan," kata Guru Besar Kebijakan Publik FISIP Untad itu.
Usulan dalam RUU tersebut telah menimbulkan keresahan dan kekakhawtiran bahwa peran perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan akan melenceng menjadi badan usaha.
Para pengamat pun mendesak dan meminta agar pasal tersebut direvisi lagi agar universitas tetap menjalankan fungsi utamanya untuk masyarakat. (Red/**).