Hamidi Zakaria A. Md: Penyalahgunaan Wewenang Bumdes Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi


Sambar.Id Jambi - Hamdi Zakaria, A.md Aktivis Lingkungan yang nota Bene sebagai Ketum DPP TMPLHK Indonesia juga sebagai Kaperwil Media Patroli86.com untuk Provinsi Jambi, dalam meeting rutin anggotanya di kantor gabungan bersama media dan lembaga Provinsi Jambi, dalam paparannya menguraikan terkait pertanggung jawaban pengurus BUMDes. Pertanggungjawaban pidana untuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat dikenakan pada pengurus atau pembuatnya berdasarkan KUHP Pasal 59. Pidana hanya dapat dijatuhkan pada orang yang melakukan atau terlibat dalam tindak pidana, sehingga jika terjadi tindak pidana korupsi di BUMDes, orang perseorangan yang terbukti melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana, kata Hamdi Zakaria.


Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi setelah seseorang melakukan tindak pidana, sesuai dengan asas hukum "tiada pidana tanpa kesalahan". Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi di BUMDes, orang perseorangan yang dinyatakan bersalah dapat dijerat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. 


Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat pada BUMDes hanya bersifat membina dan mengawasi penggunaan dana desa. Inspektorat Kabupaten melakukan pengawasan dan pembinaan di Desa sesuai dengan Peraturan. 


Jika pengawasan dilakukan secara terjadwal dan berkala, maka dapat meminimalkan kemungkinan kelalaian dalam penggunaan dana desa. 


Kata kunci: Penyalahgunaan Wewenang; Penyertaan Modal BUMDes; Korupsi. 


Hukum pidana, berbeda dengan bagian hukum yang lain, yaitu terjadinya penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, dengan tujuan lain, yakni menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan, guna menjaga ketertiban, ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat. Perbedaan yang mendasar hukum pidana dengan hukum lainnya, adalah sanksi, sebagai sanksi negatif. 


Hukum pidana mempunyai sanksi ganda, yakni primer, sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional sanksi sekunder, yakni sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial, sebagaimana yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Sehingga tugas hukum pidana melindungi warga masyarakat dari campur tangan Penguasa, yang mungkin menggunakan hukum pidana sebagai sarana dalam masyarakat untuk menjadi tujuan tertentu.


Dalam khazanah hukum pidana saat ini ius puniendi, diartikan sebagai hak untuk memidana, yakni hak yang diberikan kepada negara untuk mengancamkan dengan suatu sanksi pidana terhadap pelanggaran - pelanggaran peraturan perundang-undangan. Selanjutnya sebagai suatu hak yang diberikan kepada negara untuk memidana, yang dilaksanakan oleh lembagalembaga yang ada di dalamnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga ius puniendi ini, merupakan hak untuk mengancamkan pidana, menjatuhkan hukuman dan melaksanakan pidana dan pemidanaan.


Sifat yang melekat dari hukum pidana sebagai hukum sanksi, itulah yang menjadikan hukum pidana sebagai hukum yang teramat penting, dan sangat mendapatkan perhatian dalam ilmu hukum, doktrin, asas-asas, maupun norma-norma yang ditentukan dalam perundangundangan. Sanksi pidana adalah suatu pembalasan atau berupa penderitaan, yang dijatuhkan oleh penguasa terhadap seseorang tertentu, yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan, perilaku pelanggaran terhadapnya, diancamkan dengan pidana, ungkap Bang Hamdi akrab disapa.


Sanksi pidana dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketenteraman atau keamanan serta kontrol dari masyarakat.


Sanksi pada hakikatnya, merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaidah-kaidah, yang berwujud sebagai sanksi negatif dan positif. Sanksi positif, yakni unsur-unsur yang mendorong kepatuhan, atau perilaku yang sesuai dengan kaidah. Sedangkan sanksi negatif, menjatuhkan hukuman kepada pelanggar kaidah-kaidah. Dengan demikian penjatuhan sanksi merupakan suatu imbalan dan hukuman. Sanksi negatif semakin keras, maka semakin. 


tinggi derajat efektivitasnya, dan dapat diterapkan dengan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian-kerugian yang terjadi pada kegiatan modal usaha milik desa.


Pengaturan mengenai desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membawa babak baru dan membawa harapan baru bagi kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi tonggak perubahan paradigma pengaturan desa. 


Desa tidak lagi dianggap sebagai objek pembangunan, melainkan ditempatkan menjadi subjek pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang besar bagi desa untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. 


Selain itu pemerintah desa diharapkan untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki, termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan desa dan kekayaan milik desa.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan desa berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi APBN ini adalah anggaran yang diperuntukkan bagi desa dan desa adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat.


Guna memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah telah menggelontorkan Dana Desa yang bersumber dari APBN, Pada tahun 2019 pagu anggaran dana Desa ditetapkan sebesar 70 triliun. Peningkatan alokasi Dana Desa sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya dialokasikan sebesar 60 triliun dengan rata-rata nasional per desa menerima Rp.804,000,000 juta.


Peningkatan anggaran ini tentunya harus diikuti dengan pengaturan yang jelas mengenai segala hal tentang dana desa itu sendiri. Harus jelas mengenai penyaluran dana desa, penggunaan dana desa, pengelolaan dana desa, pembinaan dan pengawasan yang baik demi tercapainya cita-cita desa sebagai subjek dan ujung tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 


Dalam pelaksanaannya pengelolaan dana desa terdapat beberapa permasalahan, meliputi:

1. Penggunaan dana desa tidak sesuai ketentuan (prioritas);

2. Adanya pekerjaan konstruksi yang seluruhnya dilakukan pihak ketiga;

3. Adanya kelebihan pembayaran;

4. Adanya kekurangan volume pekerjaan;

5. Hasil pengadaan tidak dapat dimanfaatkan;

6. Adanya pengadaan fiktif;

7. Adanya Pengeluaran tidak didukung bukti yang memadai; dan 8. Laporan tidak membuat.


Bahkan ada beberapa Kepala Desa dan perangkat Desa telah diproses hukum oleh Aparat Penegak Hukum (APH) karena adanya unsur kecurangan (fraud) dan adanya unsur pidana. Permasalahan tersebut muncul disebabkan belum sepenuhnya dipahami oleh para pelaksana di daerah khususnya di Pemerintah desa. 


Besarnya Dana Desa belum selaras dengan kemampuan SDM (aparatur) baik secara teknis dan mentalitas. Potensi masalah yang akan muncul adanya ketidaktahuan, ketidakmampuan dan adanya risiko tindakan penyalahgunaan (fraud). Tindakan kecurangan (fraud) ini merupakan perilaku koruptif, penggelapan aset desa dan rekayasa laporan. Ketiga hal tersebut sangat dimungkinkan dalam pengelolaan dana desa.


Potensi masalah tersebut di atas perlu diantisipasi dan dicegah sedini mungkin, sehingga dana desa dapat berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, seluruh komponen, pendamping desa termasuk Instansi supradesa yaitu Kecamatan, Perangkat Daerah dan Inspektorat sebagai Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP) harus bersinergi dalam pembinaan dan pengawasan dana desa. 


Dalam praktik empiris pengelolaan dana desa sumber APBN sering kali menimbulkan permasalahan yakni terkait dengan adanya kegiatan penyertaan modal usaha milik desa (BUMDes) kata Bang Hamdi.


Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah bersifat sistemis dan endemis, sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas, tindak pidana korupsi di Indonesia sudah menyebar ke segala aspek kehidupan, ke semua sektor, baik di tingkat pusat maupun di daerah hingga di Desa. 


Tindak pidana korupsi BUM Desa merupakan fenomena yang berkembang pesat dewasa ini. Perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan berbagai modus, menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan menguntungkan perusahaan. 


Perbuatan korupsi korporasi tersebut membawa dampak kerugian pada perekonomian dan keuangan negara, yang berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 


Namun penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi korporasi, sangat jarang dihadapkan di pengadilan. Biasanya pengurus korporasi saja yang mewakili perseroan di muka hukum, sementara masyarakat menghendaki agar korupsi yang dilakukan korporasi tidak cukup menjerat Direksinya saja, tapi menjatuhkan juga sanksi pidana pada BUM Desa tersebut. 


BUMDes memiliki perbedaan yang mencolok terkait pendiriannya jika dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).


Menurut Pasal 88 UU Desa dan Pasal 5 Permendesa BUMDes, menyatakan bahwa Pendirian BUMDes disepakati melalui musyawarah desa dan ditetapkan dengan peraturan desa. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait BUMDes berstatus badan hukum atau bukan badan hukum. 


Status BUMN merupakan perusahaan badan hukum yang didirikan berdasarkan “perjanjian” karena merupakan “perjanjian” maka ada pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut yang artinya ada lebih dari satu atau sekurang-kurangnya ada dua orang atau dua pihak dalam perjanjian tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


BUMN dapat berupa PT yang pendiriannya mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Perusahaan Umum yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah. Begitu juga dengan BUMD memiliki status badan hukum yang mana apabila berbentuk PT, maka pendiriannya mengacu pada UU PT dan perusahaan daerah yang didirikan berdasarkan peraturan daerah.


Tidak adanya syarat khusus terkait pembentukan BUMDes harus berbadan hukum. Namun, unit-unit usaha BUMDes dapat berbentuk badan hukum, semisal dari unit lembaga bisnis. 


yang kepemilikan sahamnya berasal dari BUMDes dan masyarakat sesuai Pasal 7 Permendesa BUMDes. Penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU Desa menyatakan bahwa:


“BUMDes secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. 


Oleh karena itu, BUMDes merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUMDes juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.”


Bentuk pertanggungjawaban pengelola BUMDes dapat dilihat dari bentuk badan usahanya yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Jika BUMDes berbadan hukum, maka BUMDes tersebut merupakan subjek hukum tersendiri di hadapan hukum dan tanggung jawabnya merupakan tanggung jawab perusahaan atau tanggung jawab BUMDes, selama pengelola BUMDes tidak melakukan tindakan di luar tanggung jawabnya (ultra vires). 


Apabila BUMDes tidak berbadan hukum, maka organisasi di dalam BUMDes, yaitu Penasihat, Pelaksana Operasional, dan Pengawas secara bersama-sama memiliki peran untuk turut andil dalam tanggung jawab kepada pihak ketiga dengan tanggung jawab renteng apabila BUMDes tidak sanggup membayar, hal ini harus dilihat dari peraturan desa masing-masing BUMDes yang diteliti.


Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Desa yang mengatur tentang BUM Desa, hanya sebagian yang mengalami perubahan yang secara kesimpulan memberikan hal positif bagi BUM Desa. 


Meskipun sebelum adanya Undang-Undang Cipta kerja, dalam Undang-Undang Desa tidak dijelaskan secara eksplisit namun jelas bahwa BUM Desa merupakan Badan Usaha yang mempunyai karakteristik seperti Badan Hukum lainnya, pada praktiknya di beberapa daerah BUM Desa sudah melakukan perbuatan hukum sebagai subyek hukum yaitu melakukan kerja sama dalam bentuk Perjanjian Kerja sama baik dengan Perusahaan Swasta maupun BUMN.


Setelah diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja semakin jelas bahwa kedudukan BUM Desa sebagai Badan Hukum dan tentu saja disahkan sebagai Badan Hukum dengan ketentuan yang mengaturnya seperti Badan Hukum lainnya, kedudukan BUM Desa setara dengan Perseroan Terbatas (PT), setara dengan BUMN pada level Nasional dan BUMD pada level daerah sebagaimana dalam Pasal 117 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 787 Undang-Undang Desa bahwa posisi BUM Desa sebagai badan hukum tidak bisa disamakan dengan Perseroan dan Koperasi. 


Hal ini membawa keuntungan bagi BUM Desa dengan statusnya sebagai badan hukum meliputi:

1. Mempermudah kemitraan desa;

2. Mempermudah mempromosikan potensi daerah; 

3. Mempercepat perbaikan ekonomi daerah; dan

4. Mempercepat keberhasilan SGDs Nasional.


Dari uraian di atas, BUM Desa sebagai Badan Hukum juga akan memiliki sifat seperti Badan Hukum pada umumnya, terlepas dari sifat dan karakteristiknya, perihal adanya BUM Desa yang memiliki kedudukan sebagai Badan Hukum ini diharapkan membawa manfaat terutama untuk kemajuan perekonomian Desa. 


Perumusan pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan subjek tindak pidana. Dalam KUHP yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah orang. Rumusan ini dapat dilihat dengan adanya kata-kata “barang siapa”. Dalam Pasal 59 KUHP, Badan Hukum/korporasi bukan menjadi subjek pertanggungjawaban pidana. Sistem rumusan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana membuka rahasia dan tindak pidana kejahatan jabatan adalah berdasarkan kesalahan. 


Hal ini dapat dilihat dengan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Unsur kesalahan berupa kesengajaan/dolus dapat dilihat pada rumusan “dengan sengaja” maupun “ dengan maksud” (met het oogmerk). 


Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatan yang dilakukan telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk penjatuhan pidana, masih dibutuhkan adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah atau dengan kata lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana akan sangat tergantung pada adanya larangan dan ancaman oleh peraturan perundang-undangan terhadap suatu perbuatan.


Pada Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur dan menentukan tentang penetapan suatu tindak pidana. Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas dasar asas hukum yang tidak tertulis “tiada pidana tanpa kesalahan”, dalam KUHP yang sekarang berlaku, pertanggungjawaban pidana atas dasar asas kesalahan, namun tidak dirumuskan secara tertulis. Berlakunya asas ini hanya didasarkan pada hukum yang tidak tertulis, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 


Dengan demikian dalam menentukan pertanggungjawaban pidana maka sebelumnya ditentukan apakah seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan apa harus diperlukan kesalahan. Namun tidak setiap pelaku yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban. 


Sama halnya dengan Badan Hukum/Korporasi BUM Desa, BUM Desa bisa disebut pula sebuah korporasi yang berbasis masyarakat sehingga dapat mempertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan dalam hal ini apabila terjadi tindak pidana korupsi.


Adanya asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. 


Arti kesalahan harus dicari dasarnya dalam hubungan batin pembuat dengan perbuatan yang dilakukan. Kesalahan baru dapat dikatakan ada atau tidak, jika terlebih dahulu dapat dipastikan keadaan batin atau mental pembuat dalam kondisi normal untuk membeda-bedakan perbuatan mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. 


Kesalahan ini merupakan kesalahan dalam paham psychologisch (psychologis schuldbegrip) yang kemudian bergeser ke arah paham normatif (normatief schuldbegrip) yang berpendirian bahwa kesalahan bukan hanya bagaimana keadaan batin pembuat dengan perbuatan yang dilakukan melainkan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya memunculkan penilaian yang berupa pencelaan dari masyarakat. Pergeseran paham tersebut di atas menjelaskan hal yang menjadi unsur kesalahan berupa kesengajaan/dolus. Berdasarkan definisi tersebut, maka apabila kita hubungkan secara sistematis antar pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maka tindak pidana yang memasukkan “Setiap orang” sebagai bagian dari delik adalah:


1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;

3. Pemberian suap; dan

4. Pemberian hadiah karena jabatan. 


Ketentuan undang-undang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 


Selain itu, termasuk juga pembantuan atau permufakatan jahat yang dilakukan sehingga terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Lebih lanjut, termasuk juga tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yaitu mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta tidak memberikan atau memberikan keterangan secara tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi walaupun keterangan korporasi belum diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sehingga pasal tersebut belum relevan digunakan saat ini.


Apabila kita lanjutkan penafsiran tersebut secara sistematis maka tidak seluruh tindak pidana yang pada deliknya menyebutkan “Setiap orang” dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi. Hal tersebut dikarenakan tidak seluruh perbuatan tersebut dapat dilakukan oleh korporasi dalam hal ini BUMDes. 


Perbuatan penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Delik tersebut diatur dalam Pasal 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:


“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”


Unsur jabatan atau kedudukan dalam delik tersebut merupakan sesuatu yang melekat pada orang sebagai manusia (natural person) bukan pada korporasi karena korporasi tidak dapat memiliki jabatan atau kedudukan. 


Selain penjabaran di atas yang dilakukan penelaahan secara semiotik terhadap delik dengan pembatasan “Setiap orang” dan penyesuaian secara sistematis dengan pasal lain, masih terdapat satu delik terkait pemborong dan penjual bangunan yang dapat memasukkan Korporasi sebagai subjeknya, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut, yakni pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.


Tidak jauh berbeda adalah ketentuan tindak pidana lain terkait perbuatan curang yang terdiri dari setiap orang yang bertugas mengawasi tetapi sengaja membiarkan perbuatan curang terjadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni setiap orang yang bertugas. 


mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dalam kondisi tertentu pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap korporasi.


Untuk meng kualifikasi kan suatu perbuatan sebagai delik korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya terdapat dua unsur pokok yang harus dipenuhi, yaitu, unsur melawan hukum dan unsur kerugian keuangan negara. 


Dalam tataran ilmu pengetahuan hukum pidana. Konsep perbuatan melawan hukum merupakan padanan dari kata Wederrechtelijke, yang sedikit berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam ranah keperdataan (onrechtmatigedaad, wanprestasi), maupun dalam hukum administrasi (detournement de povoir).


Konsep hukum pidana mengajarkan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai wederrechtelijke, mensyaratkan secara nyata adanya niat dari pelaku untuk melakukan kejahatan (mens rea). Pemahaman itu sejalan dengan adagium latin “actus non facit reum, nisi mens sit rea”, yang berarti suatu perbuatan tidak membuat orang bersalah melakukan tindak pidana, kecuali niat batinnya patut disalahkan menurut hukum (an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy), ungkap bang Hamdi ini.


Menurut penalis jika dikaitkan berdasarkan asas tersebut, setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan adanya sikap batin jahat/tercela (mens rea). Sehingga dalam kasus atau fakta yang terjadi penalis berpendapat terjadi perbuatan melawan hukum berupa penyimpangan pengelolaan dan penyalahgunaan dana desa yang menimbulkan kerugian keuangan negara/daerah, sehingga jika di telaah berdasarkan kronologi penggunaan anggaran yang tidak sesuai telah termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi yaitu adanya Penggunaan Penyertaan Modal BUMDes yang tidak prosedural dan dana yang dikeluarkan tidak digunakan sebagaimana dalam APBDes, melainkan digunakan untuk kepentingan lain/pribadi oleh karena itu perlu dilakukan permintaan hasil dan bantuan audit investigasi/Pemsus dari Inspektorat/Bawasda Kabupaten, untuk mengetahui jumlah Kerugian Keuangan Negara, guna dapat dikembalikan kepada Negara sehingga dapat menjadi Aset Negara atau untuk proses penegakan hukum selanjutnya(penyelidikan/penyidikan), papar bang Hamdi Zakaria.


Menurut Bang Hamdi Zakaria, sebenarnya ada semacam upaya yang dapat dilakukan Inspektorat dalam upaya penyelesaian hukum BUMDes yang berimplikasi tindak pidana korupsi.


Di Desa adanya indikasi penyelewengan, permasalahan yang terjadi hanya ada kegiatan yang belum selesai pada anggaran tahun sebelumnya di selesaikan pada anggaran tahun berjalan, maka terjadi kegiatan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah di tetapkan. Dan ada beberapa penggunaan dana BUMDes yang digunakan namun ada beberapa program pembangunan belum terealisasi.


Kepala Desa tidak memberdayakan perangkat Desa, ataupun perangkat BUMDes nya yang lain (tidak transparan) sebagaimana tertuang dalam Peraturan pengelolaan Dana Desa, sehingga tidak ada kontrol dalam pengelolaan Dana Desa sebagaimana dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa Tidak adanya dokumen pertanggungjawaban dana BUMDes yang dibuat oleh kepala Desa dan Bendahara BUMDes sehingga dalam pengelolaan dana tidak dapat dikendalikan.


Dari jumlah anggaran kegiatan Penyertaan Modal BUMDes yang telah ditetapkan misalnya yakni pada TA. 2017 Rp. 432.564.000-, dan TA. 2018 Rp. 75.260.000-, telah habis dananya dan terdapat indikasi penggunaan anggaran yang tidak sesuai dan pembuatan Gedung Sarana Olahraga/Fitness yang belum dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.


Adapun yang menjadi dasar hukum inspektorat daerah dalam proses pengawasan pengelolaan dana desa seperti UU nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dan di dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat yang ada, akan melihat apakah penggunaan dana desa ini sudah berjalan dengan baik, dan tidak menimbulkan permasalahan yang ada. Adapun peralatan/perlengkapan yang digunakan inspektorat dalam melakukan pengawasan dana desa seperti komputer/laptop, kertas catatan, printer, surat tugas, lembar disposisi, dan juga kalkulator, dan tentunya semua peralatan tersebut akan menunjang proses pengawasan yang dilakukan inspektorat terlebih khusus pada pengawasan penggunaan dana desa yang ada.


Sesuai standar operasional prosedur yang ada menerangkan bahwa Inspektur Pembantu mengusulkan Pemeriksaan beserta Tim Pemeriksa kepada Inspektur. Jika ya proses dilanjutkan, jika tidak dikembalikan untuk diperbaiki. Inspektur memberi persetujuan, arahan dan petunjuk pemeriksaan kepada Inspektur Pembantu serta memerintahkan Sekretaris untuk membuatkan Surat Perintah Tugas dan Surat Pemberitahuan. Inspektur Pembantu menyiapkan kelengkapan dokumen pemeriksaan (KAK, KKP, dll.) serta memberitahukan pada Tim Pemeriksa dan Sekretaris menindaklanjuti petunjuk Inspektur. 


Tim Pemeriksa mempersiapkan kelengkapan sesuai materi pemeriksaan. memberitahukan Kasubag Perencanaan untuk melaksanakan In House Training. Memberitahukan Narasumber untuk melaksanakan In House Training. Tim memeriksa Obrik dan memberikan Pokok-Pokok Hasil Pemeriksaan (yang selanjutnya disingkat P2HP) selambat lambatnya 3 hari setelah Obrik diperiksa. 


Waktu pemeriksaan selesai. tanggapan P2HP selambat-lambatnya 3 hari setelah P2HP diterima Obrik. 3 hari setelah Surat Tugas Selesai. 


Tim Pemeriksa melakukan Expose, Pembuatan LHP oleh Tim Pemeriksa, Review dan Penandatanganan LHP oleh Inspektur. Jika YA proses dilanjutkan, jika tidak dikembalikan untuk diperbaiki, LHP diserahkan pada Kasubag Evlap untuk didokumentasikan melalui Sekretaris, LHP diberikan kepada Obrik dan diteruskan ke Wakil Bupati dan Bupati sebagai Laporan.


Mengadakan Penilaian (Evaluasi)

Evaluasi untuk melakukan sebuah proses pengawasan maka penilaian atau evaluasi sangat penting dalam proses pengawasan, dengan menilai atau mengevaluasi dimaksud dapat membandingkan hasil pekerjaan bawahan (actual result) dengan alat pengukur (standar) yang sudah ditentukan sebelumnya. Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menemukan bahwa pihak inspektorat melakukan evaluasi sesuai dengan tugas dan fungsi inspektorat yang ada, baru ada juga program kerja tahunan, dan juga jika ada pelaporan dari masyarakat mengenai pengelolaan dana desa, maka dengan cepat pihak inspektorat akan melakukan pengawasan dan juga turun lapangan agar bisa mendapatkan informasi yang secepatnya terkait pengaduan masyarakat tersebut. 


Maka dalam hal ini tentunya pihak inspektorat dalam proses pengawasan secara rutin melakukan pengawasan yang ada, dan setiap jangka waktu yang ditentukan melakukan evaluasi pada setiap desa yang ada, dalam hal ini evaluasi yang dilakukan oleh pihak inspektorat, agar bisa mengetahui jika ada temuan ketimpangan pada penggunaan dana desa, maka pihak inspektorat akan melakukan pembinaan, dan jika penggunaan dana desa didapati tidak sesuai dengan prosedur dan merugikan banyak pihak, maka oknum pemerintah desa tersebut akan diberhentikan secara langsung, dan juga hal ini nantinya akan di konsultasikan dengan Bupati.


Evaluasi yang dilakukan oleh pihak inspektorat juga melibatkan masyarakat yang ada, yang dimana dalam proses penggunaan dana desa, di dapati bahwa ada pengaduan dari masyarakat, maka pihak inspektorat akan melakukan tindak lanjut pada pengaduan masyarakat tersebut, tentunya sesuai dengan standar operasional prosedur pengaduan masyarakat, yang sudah di tentukan oleh pihak inspektorat yang ada, 


SOP pengaduan masyarakat juga bisa dilihat dari jika ada inspektur yang menerima pengaduan dari masyarakat maka inspektur pembantu menerima arahan dan petunjuk inspektur dan membentuk tim pemeriksa, jika ditemui di lapangan sesuai dengan pengaduan dari masyarakat maka pemeriksaan akan dilanjutkan dan jika tidak akan kembali di perbaiki. 


Inspektur memberi persetujuan kepada Inspektur Pembantu serta memerintahkan Sekretaris untuk membuatkan Surat Perintah Tugas.


Inspektur Pembantu menyiapkan kelengkapan dokumen pemeriksaan (KAK, KKP, dll.) serta memberitahukan pada Tim Pemeriksa dan Sekretaris menindaklanjuti pembuatan Surat Perintah Tugas dan Surat Pemberitahuan. 


Tim Pemeriksa mempersiapkan kelengkapan sesuai materi pemeriksaan.Memberitahukan Kasubag Perencanaan untuk melaksanakan In House Trainning. Tim memeriksa Obrik dan memberikan P2HP selambat-lambatnya 1 hari setelah Obrik diperiksa. 


Waktu pemeriksaan selesai. tanggapan P2HP selambat-lambatnya 3 hari setelah P2HP diterima Obrik. 

LHP diserahkan pada Kasubag Evlap untuk didokumentasikan melalui Sekretaris. 

LHP diberikan kepada Bupati dan Wakil Bupati sebagai Laporan.

Mengadakan Tindakan Perbaikan (Correctiveation). 


Pada dasarnya untuk dapat melaksanakan tindakan perbaikan maka pertama-tama harus dianalisis apa penyebab terjadinya perbedaan, bila pimpinan sudah menetapkan dengan pasti sebab terjadinya penyimpangan barulah diambil tindakan perbaikan atau evaluasi. 


Dari hasil temuan di lapangan, menemukan bahwa dalam pengawasan yang dilakukan pihak inspektorat juga, jika didapati ada kekurangan ataupun kesalahan pada administrasi yang ada, maka dari pihak inspektorat akan mengarahkan agar bisa melengkapi proses administrasi tersebut. Kemudian jika didapati ada temuan kerugian maka pihak inspektorat akan bekerja sama dengan PMD, dan selanjutnya akan menyuruh agar anggaran tersebut dikembalikan kerugian tersebut. 


Dan jika didapati di lapangan ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh oknum pemerintah desa, maka pihak inspektorat akan mengajukan kepada Bupati untuk menonaktifkan oknum pemerintah desa tersebut karena sudah merugikan banyak pihak, apalagi jika di temui bahwa terjadi ketimpangan pada pengelolaan dana desa yang ada. 


Jadi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat adalah pengawasan secara fisik.


Dalam melakukan pengawasan khususnya pada pengelolaan dana desa, pihak inspektorat melakukan evaluasi sesuai dengan tugas dan fungsi inspektorat yang ada, baru ada juga program kerja tahunan, dan juga jika ada pelaporan dari masyarakat mengenai pengelolaan dana desa, maka dengan cepat pihak inspektorat akan melakukan pengawasan dan juga turun lapangan agar bisa mendapatkan informasi yang secepatnya terkait pengaduan masyarakat tersebut. 


Dalam pengawasan yang dilakukan pihak inspektorat juga, jika didapati ada kekurangan ataupun kesalahan pada administrasi yang ada, maka dari pihak inspektorat akan mengarahkan agar bisa melengkapi proses administrasi tersebut. Kemudian jika di dapati ada temuan kerugian maka pihak inspektorat akan bekerja sama dengan PMD, dan selanjutnya akan menyuruh agar anggaran tersebut dikembalikan kerugian tersebut.


Sehingga pendapat berdasarkan analisis yuridis maupun data yang diperoleh maka inspektorat dalam mengawasi BUM Desa bukan hanya sebatas melakukan audit anggaran, melainkan juga turut melihat BUM Desa dalam melaksanakan operasionalnya. 


Inspektorat juga dapat memeriksa Alokasi Dana Desa agar diketahui aliran dana pastinya mengalir ke mana. Tidak hanya itu, inspektorat daerah sebenarnya memiliki fungsi untuk menjadi konsultan dan quality assurer selain fungsinya sebagai pengawas dalam pemerintahan. Dalam hal penindakan, inspektorat hanya dapat mengeluarkan sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 25 ayat (9) PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah apabila ditemukan pelanggaran administratif saat melakukan pemeriksaan. 


Sedangkan apabila ditemukan bukti permulaan adanya penyimpangan yang bersifat pidana maka proses tersebut akan diserahkan kepada aparat penegak hukum. Inspektorat dapat melakukan pemeriksaan atas dasar Pasal 19 PP No. 12 Tahun 2017 maupun atas dasar dari laporan masyarakat.


Pada titik kesimpulannya,

Pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan untuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu pada pengurus atau pembuatnya yang tentunya berdasarkan KUHP Pasal 59. Pidana dapat dijatuhkan pada orang yang melakukan atau terlibat tindak pidana saja, jadi dalam hal terjadi tindak pidana korupsi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), maka orang perseorangan yang terbukti melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. 


Pertanggung-jawaban pidana dilakukan atas dasar asas hukum yang tidak tertulis “tiada pidana tanpa kesalahan”. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi maka, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam hal ini perseorangan yang dinyatakan bersalah maka dapat dijerat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat hanya bersifat membina dan mengawasi penggunaan dana desa, ungkap Bang Hamdi Zakaria, A.Md menutup pemaparan dalam meeting anggota nya.


Tarmizi

Lebih baru Lebih lama