SAMBAR.ID, Solo Raya- Di tengah kemajuan teknologi, ancaman kekerasan kini tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Dunia digital, yang menawarkan kemudahan komunikasi, telah menjadi tempat munculnya bentuk-bentuk intimidasi baru, seperti yang terjadi pada tim PT Berita Istana Negara. Ancaman pembunuhan yang diterima melalui status WhatsApp dan grup media sosial menegaskan bahwa kekerasan digital bukan hanya persoalan individu, melainkan ancaman terhadap kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.
Ancaman tersebut tidak dapat dianggap remeh. Kalimat intimidasi seperti “mau mengeksekusi dan melubangi kepala serta kaki tim Berita Istana” bukan sekadar kata-kata kosong, melainkan potret nyata dari bahaya yang mengintai pekerja media. Kasus ini menempatkan kita pada pertanyaan penting: sejauh mana hukum di Indonesia mampu melindungi masyarakat, khususnya jurnalis, dari ancaman kekerasan di ranah digital?
Pasal 29 UU ITE: Harapan atau Formalitas?
Dalam kasus ini, PT Berita Istana Negara melaporkan ancaman tersebut dengan dasar hukum Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini memberikan sanksi pidana hingga 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp750 juta bagi siapa pun yang menyebarkan ancaman kekerasan melalui media elektronik.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegakan pasal ini sering kali menghadapi berbagai kendala. Tidak sedikit kasus intimidasi digital yang berakhir tanpa kejelasan hukum, entah karena kurangnya bukti, lemahnya penegakan hukum, atau faktor politis yang memengaruhi proses penyelidikan. Kasus ini menjadi ujian nyata bagi pihak berwenang untuk membuktikan bahwa hukum dapat memberikan perlindungan nyata, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
Ancaman Digital dan Kebebasan Pers
Jurnalis adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ancaman terhadap jurnalis, baik fisik maupun digital, merupakan ancaman langsung terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan. Jika ancaman semacam ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, bukan hanya jurnalis yang akan dirugikan, tetapi juga kebebasan pers secara keseluruhan.
Di era digital, intimidasi melalui media sosial semakin sering terjadi. Pelaku memanfaatkan anonimitas dan akses mudah untuk menyampaikan ancaman. Hal ini menciptakan ketakutan yang dapat menghambat kinerja jurnalis. Jika dibiarkan, kondisi ini akan menciptakan efek domino yang merusak kebebasan pers dan kualitas demokrasi.
Saatnya Tegas Melindungi Pekerja Media
Kasus ancaman terhadap tim Berita Istana Negara harus menjadi momentum bagi pemerintah dan penegak hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja media. Penanganan kasus ini tidak boleh setengah hati. Polda Jawa Timur, sebagai pihak yang menerima laporan, memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan bahwa ancaman digital tidak akan dibiarkan tanpa konsekuensi hukum.
Selain itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi jurnalis. Sosialisasi terkait UU ITE, khususnya Pasal 29, harus ditingkatkan agar masyarakat memahami bahwa ancaman digital adalah tindak pidana yang serius.
Dukungan Publik yang Dibutuhkan
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa perlindungan jurnalis bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama. Dukungan dari masyarakat dan rekan-rekan media sangat penting untuk menekan pihak berwenang agar bertindak tegas. Dengan adanya perhatian publik yang luas, diharapkan kasus ini dapat menjadi preseden positif untuk penanganan intimidasi digital di masa depan.
Ancaman kekerasan digital bukan sekadar permasalahan individu. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi bersama demi menjaga kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan perlindungan yang memadai bagi pekerja media adalah langkah awal yang harus diwujudkan.
Kasus ini adalah ujian bagi ketegasan hukum di Indonesia. Apakah kita akan membiarkan intimidasi menjadi bagian dari kehidupan digital, atau kita memilih untuk berdiri tegas melawannya? Jawabannya akan menentukan arah demokrasi kita ke depan. (*)
#AncamanDigital #LindungiJurnalis #UUITE #KebebasanPers #HukumDanMedia #StopIntimidasi #DemokrasiIndonesia
Oleh: Catur Haryanto
Jurnalis Kampung [Wong nDeso-Wong Cilik]
ALTERNATIF JUDUL OPINI
1. Ancaman Kekerasan pada Jurnalis: Mengapa Hukum Harus Tegas?
2. Melindungi Jurnalis di Era Digital: Ujian bagi Penegakan Hukum Indonesia
3. Kasus PT Berita Istana Negara: Pentingnya Solidaritas Media Melawan Intimidasi
4. Ketegasan Hukum untuk Pelaku Ancaman Digital: Harapan atau Realita?
5. Ancaman terhadap Jurnalis: Refleksi atas Kebebasan Pers di Indonesia
6. Pasal 29 UU ITE: Senjata Melawan Ancaman Kekerasan Digital
7. Polda Jatim dan Tugas Berat Melindungi Hak Jurnalis dari Intimidasi
8. Profesi Jurnalis dalam Ancaman: Siapa yang Melindungi?
9. Kasus Ancaman di Pasuruan: Efek Jera bagi Pelaku Intimidasi Media
10. Hukum dan Ancaman Digital: Sudahkah Indonesia Cukup Kuat?
11. Perlindungan Hukum Jurnalis: Kasus PT Berita Istana Negara sebagai Contoh
12. Intimidasi Digital terhadap Media: Apa Langkah Pemerintah Selanjutnya?
13. Ancaman di Era Media Sosial: Tantangan Baru bagi Profesi Jurnalis
14. Warsito Tegas Membela Tim Media: Pelajaran tentang Solidaritas Profesi
15. Menggugat Ancaman Kekerasan pada Jurnalis: Tugas Bersama Penegak Hukum
16. Mengapa Perlindungan untuk Jurnalis Harus Ditingkatkan di Era Digital?
17. Intimidasi Media: Cermin Buram Kebebasan Berpendapat di Indonesia
18. Ancaman Kekerasan melalui WhatsApp: Batasan Hukum dan Realitas Digital
19. Kasus PT Berita Istana Negara: Menjaga Marwah Profesi Jurnalis di Indonesia
20. Melawan Ancaman Intimidasi: Solidaritas Media sebagai Kekuatan Bersama
Editor : Toni
Sumber : Berita Istana Negara