Sambar.id, Opini - Narasi ini mencoba memberikan ilustrasi tentang dinasti politik secara generalis dan faktual.
Implikasi praktik dinasti politik yang cendrung diwarnai dengan pemaksaan kehendak, merampas hak politik warga negara dengan menutup ruang bagi pihak lain untuk ikut berkontribusi dalam membangun daerahnya lewat kontestasi pilkada.
Praktik praktik seperti ini masih terus berkecambah diberbagai daerah tak terkecuali di Kab Barru itu sendiri.
Walaupun terkesan dilegalkan dan nyaris tak ada klausul dalam peraturan perundang undangan yang dengan tegas melarang praktik tersebut, akan tetapi dampak yang akan ditimbulkan sesungguhnya cukup fatal bagi life sustainability politik termasuk future politik pada tingkat daerah di Sulawesi Selatan utamanya di Kab Barru.
Karena pola dinasti politik akan berkontribusi negatif dalam melahirkan peradaban politik dan demokrasi di daerah yang semestinya tidak terjadi karena tidak sesuai ekspektasi masyarakat kab. Barru.
Banyak bukti yang outentik dan empirical diberbagai daerah di Sulawesi Selatan yang mengalami patologi dalam pengelolaan birokrasi dan pemerintahan yang otoritarianisme dan berujung pada terjadinya KKN sebagai efek ekor jas dari praktik dinasti politik.
Akhir abad 19, ilmuwan sosial Lord Acton telah mengingatkan Power tends to corrups, absolute power corrupts absolutely - kekuasaan itu cendrung korup, kekuasaan yang absolut cendrung korup.
Praktek dinasti politik oleh banyak pakar menyebutnya akan melahirkan pemimpin yang absolut dan otoriter, yang akan merusak sendi kehidupan masyarakat dan demokrasi. Politik yang semestinya menjadi sarana dan kekuatan dalam menyelamatkan masyarakat, akhirnya menghilang.
Dan justru akan terbangun nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme karena dalam diri penguasa itu inheren dengan nilai otoritarianisme dan cendrung sektarian, dimana pemerintahan akan berjalan atas kehendak kelompok dan gerbong penguasa.
Skema lanjutannya adalah memanfaatkan sub ordinasi hingga pada tingkat jabatan paling bawah untuk memperlancar keinginannya tentu dengan cara memposisikan ASN yang eselon 2, 3, bahkan 4 pada jabatan tertentu dan strategis walaupun tidak lagi berlandaskan pada kapasitas ASN bahkan tidak mengedepankan unsur the right man in the right ples tapi justru the wrong man in the wrong ples, dan inikah gejala otoritariarisne atau awal dari kehancuran sebuah pemerintahan.
Oleh karena itu, penolakan terhadap dinasti politik itu penting, karena dalam dinasti politik siklus kekuasaan hanya berputar hanya dilingkaran yang sama.
Ironi memang, praktik budaya dinasti politik terus membayangi disetiap perhelatan pilkada hingga diera reformasi ini.
Effort pemerintah dengan menerbitkan berbagai varian aturan yang existing untuk memastikan budaya dinasti politik tereduksi dan tak lagi menjadi virus demokrasi di daerah pun tak kunjung usai. Para kelompok dan jaringan status quo pun semakin menggila dalam mempertahankan kendali kekuasaannya. Demokrasi tidak dipandang lagi sebagai sarana kedaulatan rakyat dan cara dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat secara universal akan tetapi, demokrasi adalah tools dalam melahirkan penguasa penguasa daerah yang otoriter dan absolut.
Dinasti politik mengandung unsur ketamakan. Ketamakan adalah sifat yang inheren dan menjadi bagian dari eksistensi manusia. Individu yang serakah dan tamak selalu merasa kekurangan, jauh dari rasa malu dan terus berusaha memperoleh lebih banyak harta, tahta dan jabatan dengan cara -cara yang tidak elegan jauh dari nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Kita tidak mengingkan pemimpin di kab Barru lahir dari produk dinasti politik, kita berharap pemimpin lahir dari proses demokrasi yang ideal dan otentik, mereka lahir dari tuntunan demokrasi yang responsif dan akuntabel.