Menulis Puisi Sampai Turun Kedunia Orang Mati

Teks foto : Penyair Pulo Lasman Simanjuntak saat baca puisi ultah Jagat Sastra Milenia (JSM) ke-4 di Cafe Sastra Balai Pustaka Jakarta Timur baru-baru ini.(Foto : Romy Sastra)
SAMBAR.ID JAKARTA -Beberapa penyair dan sastrawan ,( di Jakarta dan daerah -red) beberapa kali telah menghubungi saya baik melalui media sosial, telepon, messenger, whappshap (wa) atau secara langsung.


Mereka.minta 'izin' untuk membacakan karya puisi saya , membedah kepada sejumlah karya sajak-terutama yang telah dibukukan dalam antologi tunggal- serta di-share di media online (website) dan tik tok maupun youtube.


Dalam catatan saya -sepanjang beberapa tahun terakhir ini-sejumlah penyair dan sastrawan telah menulis (membidik-kritik sastra ) karya puisi saya seperti Profesor Wahyu Wibowo , Sugiono Empe , Nanang Ribut Supriyatin , Humam S. Chudori , Mahrus Prihany , Ayid Suyitno Ps , D.Zamawi Imron, Anto Narasoma, Rg Bagus RgBagus Warsono ,  Nurudin Pituin dan masih banyak lagi.


Sebagian tulisan mereka telah dimuat (dipublish) di website yang memiliki rubrik (kanal) sastra.


O, dengan senang hati dan sukacita saya katakan : silahkan ! Siap ditulis positip, negatif  atau juga kritik pedas yang membangun, tentu saja.


Bahkan melalui berita- dari  seorang kawan penyair di Posko Taman Ismail Marzuki- beberapa mahasiswa jurusan Fakultas Sastra Indonesia dari berbagai universitas , minta izin untuk melakukan penelitian ilmiah (mungkin mau bikin skripsi atau disertasi) karya puisi saya yang telah terdokumentasi dengan baik di laman google.


Saya type penyair-dimana tiga tahun terakhir ini karya puisi saya telah dimuat di 213 media online- yang dalam proses kreatif tetap mau belajar, dan belajar.Agar menjadi penyair yang cerdas.


Terus terang-jujur dengan batin rohani-saya bahagia dan sukacita dan bersyukur kepada Tuhan,  sampai usia 63 tahun ini masih terus 'produktif' menulis puisi.


Hal ini juga telah saya sampaikan kepada rekan dan sahabat Penyair Remmy Novaris DM dan Arief Joko Wicaksono , Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, dan Ireng Halimun  ketika bertemu di kantin TIM beberapa waktu lalu.


Bersyukur kepada Tuhan saya juga masih  diundang beberapa kali- untuk baca puisi dan sajak- baik di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cafe Sastra Balai Pustaka, Radio Republik Indonesia (RRI)  dan sejumlah tempat komunitas sastra  lainnya di Jakarta & sekitarnya.


Terima kasih dan salam hormat saya  juga untuk Komponis, Pianis, dan Musisi Ananda Sukarlan  yang telah mengangkat jadi sebuah tembang puitik (lagu)  untuk karya puisi saya berjudul MENULIS SYAIR UNTUK PRESIDEN episode 2


Di tengah kesibukan saya sebagai jurnalis  dan kontributor media online  yang merupakan kumpulan sejumlah website di Jakarta dan daerah.Selain kesibukan lain sebagai pelayan gereja.


Puji Tuhan, saya tetap ingin menulis puisi dan sajak  (sejak tahun 1980 s/d tahun 2024)  sampai pintu kasihan tertutup, turun ke dunia orang mati.


Sebelum berpisah, di bawah ini saya publish dua karya puisi saya yang terbaru. Ditulis bln November 2024. Dua puisi ini merupakan hasil dagnosa penyakit diangkat menjadi dua sajak terkait


Berbagai pergumulan hidup sering diangkat (baca :terinspirasi !) menjadi sebuah maha karya sastra berupa sajak atau puisi yang dapat menyentuh sampai ke dalam batin dan jiwa raga ini.


Semisal, apa yang dialami kali ini mengangkat sebuah diagnosa penyakit menjadi dua sajak terbaru yang terkait berjudul "Penyair Berjalan Tanpa Kaki Kiri " serta " Sajakku Terkapar Di Telapak Kaki Kiri".


Pengalaman menulis sajak ini karena saya-setelah hasil pemeriksaan radiogi-di diagnosa dengan calcaneus spur sinistra pada telapak kaki kiri.


Penyakit yang bahasa awamnya disebut : pengapuran !telah membuat penderitaan dan kesakitan yang 'luar biasa'  terutama dalam berjalan kaki. Bahkan harus menggunakan bahan 'silikon' yang dibalut pada telapak kaki kiri.


Penderitaan kesakitan yang terus menerus tanpa kesembuhan-dan saat ini sedang terapi sinar ultrason di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah- membuat  saya makin semangat untuk menulis kedua sajak ini. (*)

Lebih baru Lebih lama