Meneladani Guru Tua Untuk Cinta Tanah Air


Oleh : Edi Setiawan S.E., M.M Sekjend GEMA Alkhairaat (2021-2026)



SAMBAR.ID, Opini - SIAPA yang tak mengenal sosok yang satu ini lahir di Yaman, pada 15 Maret 1892 merupakan sosok pejuang pendidikan dari keturunan Ba’alawi (sebutan untuk orang-orang yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad S.A.W melalui Alawi Bin Abdillah bin Ahmad Al-muhajir). 


Sepanjang hidup beliau dikenal sebagai tokoh yang cinta Ilmu. Tidak heran beliau mendirikan lembaga pendidikan, dakwah dan sosial di tanah Tadulako (sebutan untuk kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah). Masyarakat lokal menyebut beliau dengan panggilan “Guru Tua”.



Dalam dakwahnya Guru Tua banyak mendapatkan tantangan, apalagi Indonesia yang baru saja merdeka mendapatkan tekanan dari bangsa sendiri, tekanan-tekanan ini terlihat dari bentuk gerakan-gerakan separatisme yang menggoyang kebangsaan di awal-awal kemerdekaan. 


Gerakan separatisme yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori Kartosoewiryo. Gerakan NII merupakan gerakan bersenjata terkuat yang pernah ada di kawasan ini dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. NII yang diproklamirkan oleh kartosoewirjo yang kemudian diikuti Daud Beureueh di Aceh. 


Daud Beureueh kemudian mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa “dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) Aceh dan daerah sekitarnya, maka lenyaplah kekuasan Pancasila di Aceh dan daerah sekitarnya, digantikan oleh negara islam”. 


Kemudian Abdul Qahar Muzakar di Sulawesi Selatan, gerakan ini dimulai sejak terjadinya diskriminasi atas rekrutmen Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang sekarang berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). 


Perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat karena tidak menerima pembagian kue pembangunan secara adil, merata dan merasa tidak dihargai sebagai pejuang nasional revolusi di daerahnya. Nasib daerah yang diatur oleh orang-orang luar yang kurang memahami keinginan dan aspirasi daerah. Ini pun menjadi landasan kuat Abdul Qahar Muzakar untuk bergabung bersama Kartosoewiryo dan membuat nota kesepakatan untuk mendirikan NII.


Rongrongan yang mengoyah keutuhan bangsa mendapat respon dari Guru Tua. Guru Tua yang menolak atas gerakan-gerakan separatisme, ini dibuktikan dengan menolak ajakan untuk bergabung bersama Qahar Muzakar.(A. Kadir; 2013) Dukungan terhadap pemerintah yang sah pun dilontarkan Guru Tua dalam syairnya “Wahai Soekarno engkau jadikan hidup kami bahagia dengan obatmu hilang sudah sakit kami. 


Wahai Presiden yang penuh berkah untuk kami engkau hari ini laksana kimia bagi masyarakat. Dengan perantaraan pena dan politikmu kau unggul kau menang dengannya telah datang berita. Jangan risaukan jiwa dan anak-anak demi tanah air alangkah indah penebusan. 


Gandengkan menuju kedepan untuk kemuliaan tangan-tangan tujuh puluh juta jiwa bersamamu dan para pemimpin. Makmurkan untuk negara pembangunan materil dan spritual buktikan kepada masyarakat kamu mampu. Semoga Allah membantu kekuasaanmu dan mencegahmu dari setiap kejahatan yang direncanakan oleha musuh-musuh”. 


Tidak sampai disini saja negara yang baru saja merdeka ini mendapat ganguan dari gerakan-gerakan pemberontakan, tepat pada 30 September 1965 adalah puncak dari pemberontakan Komunisme di Indonesia.


Pidato pada tanggal 17 agustus 1961 perayaan hari kemerdekaan, Soekarno mengatakan “Siapa yang setuju kepada pancasila, harus setuju kepada Nasakom. Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila”. Untuk terus mengkampanyekan konsep NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), Soekarno berpidato dihadapan para perwakilan negara Internasional di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat yang berjudul “To Build The World A New”.


Gagasan konsep NASAKOM yang dicetuskan Soekarno mendapat respon yang keras dari Guru Tua. Gagasan yang diusung oleh Soekarno tidak rasional untuk konteks Indonesia sebagai bangsa yang religius.(Gani Jumat; 2012) Guru Tua berfatwa “Syetan masih ada baiknya daripada PKI, karena syetan masih percaya adanya Tuhan, tetapi PKI senantiasa anti Tuhan”. Guru Tua pun menuliskan syairnya “Sungguh tak pernah kami membenarkan warta yang datangnya dari negeri Soviet dan Cina, Tuhan telah benci dan mencerai beraikan kesatuan mereka semua dalam keadaan hina dina. 


Siapa yang restu dan menyetujui undang-undang peraturannya maka undang-undang peraturan mereka itulah yang hina dina. Mereka menyatakan jumlah pengikutnya tak terhingga bahkan sudah mencapai jutaan (milyun) jumlahnya. Mereka senantiasa mendapat sokongan dari pemimpin-pemimpinya sedang pemimpin-pemimpin mereka laksana orang gila. Kebaikan sama sekali tiada bagi mereka dan partainya karena mereka telah ingkar dan mendustakan Agama. 


Wahai muda taruna hunuskan pedang keperkasaanmu buat mereka melalui keperkasaanmu buat mereka melalui kekerasan dan sergapan dahsyat bukan dengan lemah lembut dengan pertempuran-pertempuran menyeluruh supaya mereka susul menyusul terkubur dalam tanah”.


Dengan lembaga Alkhairaat Penolakan Guru Tua dengan gagasan Soekarno ini pun dilakukan mengirim santri dan guru ke pelosok-pelosok desa untuk mencekal dan membendung ajaran Komunisme. Walaupun di masa-masa pemberontakan awal Guru Tua memberikan semangat dan dukungan kepada Soekarno, tapi pada kali ini Guru Tua menentang Soekarno. 


Sikap yang berbeda ini buktikan oleh Guru Tua bahwasannya kita tidak bisa memiliki sifat Fanatisme buta terhadap seorang Tokoh ataupun Pemikirannya, karena sikap Fanatisme buta ini mencintai yang berlebihan ataupun membenci berlebihan sama-sama berbahaya. 


Sikap kritis terhadap Soekarno menunjukan bahwa Guru Tua tidak sekedar kritis melainkan juga tidak mau kompromi. Abuse of Power (Penyalagunaan Kekuasaan) yang dilakukan oleh Soekarno bukan lagi ingin memajukan bangsa Indonesia ini semua dilakukan Guru Tua karena bentuk kecintaannya kepada Indonesia.


Tahun 2024 ini kita akan memasuki pesta Demokrasi jangan sampai hanya beda pilihan kita semua bisa hancur lembur karena kebencian dan kemunafikan, mari pesta demokrasi tahun ini kita sambut riang gembira sebagai bentuk cinta tanah air. (**)

Lebih baru Lebih lama