Dampak Sosial Ekonomi dan Budaya dalam Peningkatan Obesitas di Mataram


Oleh : Cintia Anggun Kurnia 

Obesitas telah menjadi fenomena sosial yang semakin mengkhawatirkan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data Riskesdas NTB tahun 2022, prevalensi obesitas di Kota Mataram mencapai 21,3%, meningkat signifikan dari 15,4% pada tahun 2018. Perubahan struktur sosial dan pola hidup masyarakat telah membawa dampak signifikan terhadap peningkatan kasus obesitas di wilayah ini. Artikel ini mengkaji fenomena tersebut melalui perspektif sosiologi, dengan memfokuskan pada aspek sosial ekonomi dan budaya yang memengaruhi tren obesitas di Mataram.

Dalam teori perubahan sosial yang dikemukakan oleh William F. Ogburn, masyarakat mengalami perubahan kebudayaan material yang lebih cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non-material. Dr. Siti Nurjanah dalam penelitiannya "Transformasi Sosial Masyarakat Kota Mataram" (Jurnal Sosiologi Nusantara, 2023) menggambarkan bagaimana modernisasi telah mengubah lansekap kota dan perilaku masyarakat Mataram secara drastis dalam dua dekade terakhir.

Perkembangan infrastruktur modern di Mataram ditandai dengan pembangunan lima pusat perbelanjaan besar yang mengubah pola konsumsi masyarakat. Kehadiran 47 restoran waralaba telah menciptakan budaya makan baru yang lebih berorientasi pada kepraktisan dibanding nilai gizi. Pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi yang mencapai 156% dalam sepuluh tahun terakhir telah menurunkan intensitas aktivitas fisik masyarakat secara drastis. Perubahan ini menciptakan transisi gaya hidup dari yang sebelumnya aktif bergerak menjadi lebih banyak berdiam diri, baik di kantor, kendaraan, maupun rumah.

Penelitian Dr. Ahmad Fauzi dari Universitas Mataram (Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Daerah, 2023) menunjukkan korelasi positif antara peningkatan pendapatan dan risiko obesitas di Mataram. Pendapatan per kapita Kota Mataram yang mencapai Rp 54,2 juta per tahun telah mengubah pola konsumsi masyarakat secara signifikan.

Masyarakat kelompok menengah atas dengan pendapatan di atas Rp 10 juta per bulan menunjukkan kecenderungan konsumsi makanan cepat saji yang lebih tinggi. Sebanyak 65% dari kelompok ini secara rutin mengonsumsi makanan cepat saji minimal tiga kali seminggu. Penggunaan kendaraan pribadi menjadi pilihan utama mobilitas mereka, dengan 78% responden menyatakan jarang berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Karakteristik pekerjaan mereka yang didominasi profesi kantoran dan eksekutif mengakibatkan minimnya aktivitas fisik, dengan 82% menghabiskan lebih dari delapan jam sehari duduk di belakang meja. Akumulasi dari pola hidup tersebut berkontribusi pada tingginya tingkat obesitas yang mencapai 27,5% pada kelompok ini.

Kelompok masyarakat menengah dengan rentang pendapatan Rp 5-10 juta per bulan menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Konsumsi makanan olahan menjadi bagian dari rutinitas 45% responden, meskipun frekuensinya lebih rendah dibanding kelompok menengah atas. Ketergantungan pada transportasi pribadi juga cukup tinggi, mencapai 60%. Kombinasi faktor-faktor ini menghasilkan tingkat obesitas sebesar 19,8% pada kelompok menengah.

Sementara itu, kelompok menengah bawah dengan pendapatan kurang dari Rp 5 juta per bulan memiliki pola hidup yang relatif lebih sehat secara tidak langsung. Konsumsi makanan cepat saji pada kelompok ini hanya mencapai 25%, lebih karena keterbatasan ekonomi daripada kesadaran kesehatan. Karakteristik pekerjaan yang lebih banyak mengandalkan tenaga fisik seperti buruh, pedagang, dan pekerja lapangan, membuat kelompok ini memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi. Hasilnya, tingkat obesitas pada kelompok ini tercatat paling rendah, yaitu 14,2%.

Dr. Lalu Wiratmaja dalam bukunya "Budaya Sasak dan Transformasi Sosial" (2023) menguraikan secara mendalam bagaimana nilai-nilai tradisional masyarakat Sasak berkontribusi pada permasalahan obesitas. Tradisi Begawe atau pesta adat menjadi salah satu manifestasi budaya yang secara tidak langsung mendorong perilaku konsumsi berlebihan. Dalam setiap pelaksanaan Begawe, tuan rumah akan menyajikan makanan dalam jumlah berlimpah sebagai simbol status sosial dan kemakmuran. Perayaan yang berlangsung selama tiga hingga tujuh hari ini diwarnai dengan konsumsi makanan tinggi kalori seperti bebek panggang dan plecing yang kaya akan lemak dan karbohidrat.

Tradisi Begibung, sebuah praktik makan bersama dalam kelompok besar, juga memiliki andil dalam membentuk perilaku makan masyarakat Mataram. Dalam tradisi ini, meninggalkan makanan dianggap tidak sopan dan dapat menyinggung tuan rumah. Seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, frekuensi pelaksanaan Begibung juga semakin meningkat, tidak lagi terbatas pada acara-acara khusus tetapi juga menjadi bagian dari pertemuan sosial rutin.

Persepsi masyarakat tentang tubuh ideal juga turut berperan dalam meningkatnya kasus obesitas. Dalam budaya Sasak, tubuh "berisi" masih dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Para orangtua cenderung merasa bangga ketika memiliki anak yang "montok", yang dianggap sebagai tanda bahwa mereka mampu memberikan nutrisi yang cukup. Sebaliknya, tubuh kurus masih dipandang sebagai indikasi kekurangan dan kemiskinan, menciptakan tekanan sosial yang mendorong pola makan berlebihan.

Penelitian dari Tim Fakultas Kedokteran Unram (Jurnal Kedokteran Indonesia Timur, 2023) mengungkapkan dampak konkret obesitas terhadap aspek kesehatan masyarakat Mataram. Total biaya rawat inap terkait komplikasi obesitas telah mencapai Rp 45 miliar per tahun, membebani sistem kesehatan kota. Dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diabetes yang mencapai 156%, dengan obesitas sebagai faktor risiko utama. Lebih mengkhawatirkan lagi, 35% kasus hipertensi yang tercatat di rumah sakit-rumah sakit Mataram berkaitan erat dengan kondisi obesitas pasien.

Dari segi ekonomi, keluarga dengan anggota yang mengalami obesitas harus mengalokasikan rata-rata Rp 1,2 juta per bulan untuk biaya kesehatan, termasuk pengobatan rutin dan penanganan komplikasi. Produktivitas kerja mengalami penurunan hingga 22% akibat berbagai kendala kesehatan yang terkait dengan obesitas. Situasi ini juga berdampak signifikan pada sistem jaminan kesehatan, dengan BPJS Kesehatan mencatat peningkatan klaim terkait obesitas sebesar 78% dalam tiga tahun terakhir.

Merespons situasi ini, Pemerintah Kota Mataram telah mengeluarkan Perda No. 8 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Pengendalian Obesitas. Program "Mataram Sehat" menjadi ujung tombak implementasi kebijakan ini dengan pembangunan dua belas taman kota baru yang dilengkapi fasilitas olahraga. Pengembangan jalur sepeda sepanjang 24 kilometer telah memberikan alternatif transportasi yang lebih sehat bagi warga. Pelaksanaan car free day di tiga lokasi strategis setiap akhir pekan telah berhasil mendorong masyarakat untuk lebih aktif bergerak.

Dalam ranah pendidikan, implementasi kurikulum gizi seimbang telah dilakukan di 127 sekolah di Mataram. Program kantin sehat yang kini mencakup 85% sekolah negeri telah berhasil mengurangi konsumsi makanan tidak sehat di kalangan pelajar. Pembatasan penjual makanan tidak sehat di sekitar sekolah juga telah menunjukkan dampak positif terhadap pola makan siswa.

Kesadaran masyarakat mulai tumbuh dengan bermunculannya berbagai inisiatif komunitas. Terbentuknya 45 kelompok senam masyarakat telah memfasilitasi aktivitas fisik rutin warga. Dua puluh tiga komunitas sepeda aktif mengampanyekan gaya hidup sehat melalui berbagai kegiatan bersepeda. Lima belas kelompok urban farming berkontribusi dalam menyediakan alternatif pangan sehat bagi masyarakat kota.

Fenomena obesitas di Mataram merepresentasikan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat transisional. Diperlukan pendekatan komprehensif yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam penanganannya. Keberhasilan program pencegahan dan pengendalian obesitas akan bergantung pada kemampuan mengintegrasikan modernitas dengan kearifan lokal.

Lebih baru Lebih lama