SAMBAR.ID, OPINI - Kilas balik kasus korupsi Komoditas Niaga Timah Sebagai perusahaan negara satu-satunya yang melakukan penambangan timah di Indonesia
PT Timah Tbk dihadapkan pada permasalahan internal dari mulai kewajiban mencari keuntungan buat pendapatan negara dan bertanggung jawab penuh terkait keberlangsungan perusahaan,dalam menjalanakan regulasi dalam pemeliharaan lingkungan akibat ekploitasi lahan bekas tambang.
Carut marut pengelolaan timah menyebabkan pemilik konsesi timah terbesar dibabel ini ternyata tidak berdaya menghadapi banyaknya kompetitor swasta yang juga bergerak dalam bisnis timah.
Diketahui sejak tahun 2015 PT Timah secara nyata untuk giat penambangan didarat dan dilaut melakukan kerjasama ke pihak ketiga atau mitra tambang dengan sistem sewa alat tambang.dalam melakukan ekploitasi dikonsesi miliknya.
Sehingga hampir sebagian besar produksinya bergantung kepada pola kemitraan atau pihak ketiga. Artinya perusahaan BUMN ini tidak lagi berorientasi kepada core bisnisnya yaitu menambang.
Polemik mulai terjadi dimana wilayah konsesinya dihajar terus oleh tambang inkonvesional dan praktek tambang ilegal yang berlangsung terus menerus sampai dengan saat ini.
Akhirnya dimulai pada tahun 2017 dilakukan sistem jemput bola dan pada tahun 2018, PT timah mengeluarkan kebijkan perusahaan terkait pengamanan bijih timah diwiup miliknya dengan dikeluarkanya instruksi no. 030/ 2018 yang ditanda tangani oleh M.Riza Pahlevi Tabrani selaku Dirut PT.Timah Tbk.
Dengan pertimbangan kala itu bahwa kewajiban perusahaan yang begitu besar. Untuk segera melakukan pengamanan terhadap aset berupa bijih timah dikonsesi miliknya atau.istilahnya " Berdaulat Di Dalam WIUP sendiri".
Bersamaan dengan keluarnya regulasi pusat terkait komoditas ekspor logam yang mensupport PT.Timah Tbk .
Dimana adalah regulasi pemerintah terkait izin ekspor logam timah dengan syarat dokumen RKAB bisa diterbitkan harus diketahui dan ditanda tangani CPI (competen person indonesia) terkait asal usul dan jumlah cadangan timah.
Namun regulasi dan langkah PT.Timah dalam pengamanan aset timah tidak berlansung aman dan lancar ,dengan makin masivenya proses ilegal mining yang terjadi dilapangan yang dilakukan perorangan ,masyarakat,
Bahkan korporasi menyebabkan kekayaan cadangan dalam WIUP PT.Timah semakin tergerus secara masive masuk ke kepara kompetitor .
Pola kemitraan sewa peleburan berafiliasi dengan pihak smelter dianggap jalan pintas yang bisa menyelesaikan persoalan mencukupi produksi PT.Timah kala itu.
Dan Direksi PT Timah pun membuat kesepakatan dan kerjasama penglogaman dengan pihak smelter yaitu PT. VIP, SIP, RBT, SBS ,MCM dll guna memenuhi kuota Logam timah dalam bentuk Ingot yang disebut "Crude Tin".
Disadari bahwa pada tahun 2018 ekspor logam Timah PT.Timah Tbk selaku pemilik IUP terbesar diBabel hanya mampu ekspor sebesar 25-30% saja dari total ekspor logam Timah Babel, 70-75% dilakukan oleh smelter swasta.
Namun pada tahun 2019 tercatat 68.000 mton logam dapat diperoleh PT.Timah dengan adanya afiliasi dengan pihak pihak kompetitor alias smelter diatas.Hal ini patut diduga adanya aliran bijih timah yang ada diWIUP PT Timah selama ini keluar kepada para kompetitor alias smelter2 swasta melalui para penambang yang menjual hasil timahnya ke kolektor- kolektor atau Pengepul.
Namun langkah atau kebijakan yang tidak populis dilakukan oleh Reza Pahlevi sebagai dirut PT.Timah Tbk saat itu menyebabkan permasalahan hukum dan menguak fakta praktek yang terjadi terkait bisnis pertimahan yang "Sangat Tidak Sehat" terjadi di Bangka belitung.
Isu kerusakan ekologi dan lingkungan yang menjadi dasar pada kasus korupsi tata kelola niaga Timah 300 triliun rupiah menjadi bom waktu yang meledak dan menyeret banyak pihak menjadi Pesakitan.
Namun tetap terjadi kesepakatan dengan pola kemitraan penglogaman guna menarik bijih dari kolektor kolektor timah yang selama ini diback up aparat dan diserahkan ke smelter2 swasta yang lebih unggul atau disparitas harga yang cukup mencolok.
Ada niat dan maksud yang baik atas kebijakan yang dilakukan direksi PT.Timah saat itu dengan dilakukanya pengamanan aset bijih timah didalam WIUPnya,mulai dari kegiatan Jemput bola (SHP) yang dilakukan guna mengumpulkan bijih timah hasil pendulangan,dan penambangan tradisional yang dikerjakan masyarakat sampai meminta pihak berwajib dan pimpinan daerah bangka belitung untuk membantu PT Timah menyampaikan arahan kepada pihak smelter yang dikeahui secara masif melakukan pencurian timah dikonsesinya ,guna menyumbangkan produksi yang didapat dari tambang inkonvensional atau ilegal yang terus menjamur baik dalam wilayah kawasan hutan ,HGU,maupun lahan milik masyarakat yang berada dalam WIUP PT.Timah Tbk.
Adanya kewajiban reklamasi, dan pasca tambang akibat penambangan liar atau inkonvensional yang mesti dilakukan PT.Timah selaku pemilik IUP jelasnya menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar dan sulit dipetakan.
Belum lagi masalah keagrarian lahan tambang ,kawasan hutan yang masuk dalam WIUP darat ,kewajiban membayar dividen kenegara ,royalti kepusat dan CSR ke masyarakat terdampak tentunya menjadi beban yang cukup besar bagi perusahaan PT.Timah dari tahun ketahun apalagi dengan sistem kerjasama imbal jasa penambangan .
Menjadi sebab manajemen saat itu bergerak dan bertindak untuk segera mengamankan asetnya yang terus tergerus ,dan ini karena iklim usaha timah dibabel tidak kondusif bagi PT.Timah.
Dengan berkaca dengan kemampuan peralatan tambang atau memproduksi bijih timah dengan produksi sendiri, ditambah pengawasan WIUP yang minim , adalah suatu langkah berani yang dilakukan BOD PT.Timah dengan mengandeng para pelaku pertimahan dalam hal ini smelter membantu mengumpulkan dan mendistribusikan produksinya yang berada dikonsesi PT. TImah,menjaga sosial.ekonomi masyarakat, membantu pabrik2 peleburan swasta juga tetap hidup dengan kerjasama peleburan tanpa melanggar regulasi yang ada.
Namun dalam periode 2015-2022 tersebut nyatanya memang PT timah dengan alasan efisiensi perusahaan menggunakan pola kemitraan jasa pertambangan baik guna mengekploitasi wilayah darat dan off shorenya terbukti mampu bertahan ,walaupun target RKAP PT.Timah hanya sekitar 25.000 mton logam per tahun, harus diproduksi dengan susah payah dan berbiaya pokok produksi yang besar tadinya jika ditambang sendiri.
Dengan pola kemitraan Tambang atau HIUJP ditambah afiliasi dengan pihak smelter ternyata mampu menjawab dan memberikan ekspor logam timah tertinggi di dunia pada tahun 2019 .
Hal ini tentunya menjawab pertanyaan bahwa selama ini aset bijih timahnya lepas keluar kandang,diluar kasus pengiriman atau penyelundupan pasir timah bahkan balok timah keluar negeri yang sangat merugikan negara .
Namun kembali isu lingkungan yang telah memporakporandakan alam babel sejak berpuluh-puluh tahun akibat tidak lagi mineral logam timah menjadi mineral strategis, sehingga bebas dikerjakan masyarakat .
Akibat adanya.penanganan kasus Korupsi Tata Kelola niaga timah yang ditangani kejagung RI dan saat ini telah dilakukan Sidang atas perkara tersebut.
Nampak ekonomi masyarakat babel saat ini terpuruk ,namun kenyataan sampai dengan saat ini pun masih saja kegiatan ilegal baik penambangan ilegal dan pengiriman (penyelundupan) pasir dan logam Timah keluar pulau dan keluar negeri masih marak terjadi.
Walaupun para tersangka kasus tipikor Tata kelola Niaga Timah yaitu Riza pahlevi ataupun Thamron CS sudah menjadi pesakitan .
Jadi dimana sesungguhnya benang merah terkait Carut marut terkait tata kelola niaga timah ,jika kita telisik secara kerugian perusahaan,lingkungan ataukah hancurnya ekonomi masyarakat Bangka Belitung yang saat ini terjadi. (*)
Penulis: M.Anshori (Praktisi Tambang)