SAMBAR.ID// BANGKA BARAT - Kegiatan penerimaan pasir timah yang selama ini diduga bukan dari proses kegiatan pertambangan yang dipersyaratkan, jelas menjadikan bumi serumpun sebalai bagaikan suatu daerah yang dijatuhkan bom atom oleh maraknya kegiatan tambang ilegal.
Nikmatnya kekayaan sumber daya alam Babel menjadi magnet para oligarki menancapkan bisnisnya dan membuat pulau Bangka Belitung hancur lebur.
Nah yang miris adalah adanya perusahaan BUMN yang satu satunya merupakan perusahaan negara yang bergerak di penambangan timah di Indonesia seperti lost power.
Selama puluhan tahun WIUP nya dihajar dan dibabat kompetitor dengan dukungan yang diduga melibatkan sejumlah instansi dan institusi terkait.
Hal ini pun, dikatakan mantan Direktur operasional dan produksi Purwoko saat PT. Timah dipimpin oleh Achmad Ardianto bahwa iklim usaha timah di Babel tidak kondusif terhadap BUMN.
Hal ini jelas menjadi PR besar kenapa sekelas perusahaan sekelas BUMN pun keok melawan kekuatan dahsyat tersebut.
Alih-alih survive malah ikut serta dan berkolaborasi dengan raja-raja ilegal tersebut mengeruk kekayaan alam Babel tanpa bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masa depan anak cucu dan pribumi yang hidup dan mati di Babel tercinta ini.
Puncaknya saat M. Riza Pahlevi Tabrani Alwi, menjabat Dirut PT. Timah sejak 2016 silam perusahaan yang tadinya bergerak murni dalam sektor bisnis tambang dengan pengelolaan mandiri berhasrat untuk menguasai kembali produksi PT. Timah Tbk sebagai leader timah dunia.
Malah berubah menjadi perusahaan penimbangan dengan pola kerjasama mitra dengan Smelter Swasta.
Yang menyebabkan perusahaan BUMN dilanda badai kasus Korupsi terbesar di Indonesia, bukan hanya dari pendapatan negara namun kerusakan ekologi lingkungan yang disebabkan giat ilegal memberikan angka fantastis sebesar 271 Triliun Rupiah.
Pengelola mineral timah boleh dikatakan luar biasa dari mulai pasir timah atau mineral caseterite, Mineral Ikutan Timah (MIT), sampai ke terak atau slag logam timah hasil pemurnian menjadi cuan yang menjanjikan.
Hal ini didasari betul oleh banyak pihak yang bergelut di industri pertimahan namun sayangnya uang triliunan rupiah tersebut hengkang dari Babel bukan hanya keluar pulau namun hilang keluar negeri.
Pasokan logam timah Babel menjadi primadona diluar negeri dimana eksternal pun banyak investor pada saat logam timah mengalami kenaikan harga mencari balok timah berkadar triple nine (99,9%) guna dijual ke luar negeri dengan nilai menjanjikan keuntungan besar baik berupa logam timah dengan dokumen atau tanpa dokumen.
Terkait pengelolaan mineral timah boleh dikatakan memiliki recovery yang tinggi artinya kemanfaatan mineral timah dan ikutannya menjadi ekonomis dan dilakukan dengan proses sederhana dan tidaklah rumit dan memerlukan investasi yang besar seperti diawal penambangannya.
Makanya sejak 2017 silam PT. Timah Tbk, melakukan kegiatan kerjasama mulai dari pengiriman dan pasokan material,pengolahan mineral dan pemisahan mineral ikuta serta jasa peleburan bijih timah menjadi penglogaman serta peleburan terak atau slag kepihak mitranya.
Namun sangat disayangkan dengan kemampuan yang mumpuni dan fasiltas yang ada di PT. Timah Tbk, malah kegiatan core bisnisnya diserahkan kepihak ketiga.
Kembali berulang bahwa perusahaan kompetitor lebih bisa melihat peluang dan memahami kelemahan yang ada di BUMN tersebut.
Aturan ataupun regulasi pun berlaku sama terhadap perusahan pertambangan khususnya dalam segi kewajiban K3 dan pasca tambang malah ini menjadi tolak ukur kementrian terkait guna melihat bukaan tambang dan reklamasi yang telah dikerjakan pada tahun berjalan.
Pasca tambang pun menjadi hal krusial bagi aparat penegak hukum guna melihat tentang besarnya jaminan dana reklamasi yang selama ini lenyap ditelan bumi dan ternyata memang tidak bisa mengcover data bukaan tambang yang telah dikerjakan.
Hal ini yang salah satunya menyebabkan perusahaan negara yaitu PT. Timah Tbk, berdalih dengan banyaknya kewajiban maka tidak bisa memberikan harga terbaik kepada kompensasi atau beli bijih timah dari penambang lokal.
Kan aneh jika sekelas perusahaan tambang kelas dunia dihajar kelas teri dalam hal ekpor logam.
Padahal kita Mahfum mana sih pihak smelter melakukan masiv penambangan dalam IUP nya kalo dikatakan diambil dari giat tambang rakyat atau penambang lokal yang berstatus ilegal.
Hal ini dilihat dari ekspor logam timah babel Desember 2023 drastis menurun +- 70 -80% dari periode sebelumya karena tidak operasinya tambang masyarakat lokal dan ada ketakutan dari para kolektor lokal pada pusara kasus Tata kelola niaga timah sejak akhir 2023 lalu.
Kondisi pertimahan saat ini sejak adanya penyelidikan Kejagung RI, dimana produksi timah dari hasil tambang ilegal kembali masuk ke gudang gudang penerimaan yang memiliki izin RKAB antara lain ke PT. Timah Tbk, dan Smelter swasta.
Terbukti banyaknya pengiriman pasir timah akhir-akhir ini ke gudang penerimaan mereka.
Belum bisa dipastikan bahwa pasir timah yang dihasilkan dari kegiatan tambang ilegal yang berjalan saat ini atau merupakan stok barang dari pengumpul atau kolektor timah.
Diduga celah pintu masuk pasir timah ilegal masuk lewat SPK tambang dengan mitra dan kedua timah dibawa keluar daerah Babel dengan cara diselundupkan oleh para cukong terindikasi lewat jalur laut daerah pantai meninggi, Kecamatan Parit Tiga, Kabupaten Bangka Barat.Karena merupakan jalur laut yang paling dekat ke arah Singapura secara geografis.
Hal ini ditenggarai masyarakat dan kolektor timah tidak bisa lagi menjual timahnya secara bebas dan jelas ini bisa menguntungkan perusahaan BUMN yang notabennya memiliki IUP terbesar di Babel.
Namun apakah timah yang berasal dari kegiatan tambang ilegal bisa dimasukan dan mempunyai legalitas jika masuk sebagai produksi dan tidak kembali berimplikasi hukum.
(Tim/red)