Sambar.id, Opini - Pribumisasi nilai Islam perlu diperhatikan agar Islam dipandang sebagai sesuatu yang tidak asing. Islam dikenali karena keunggulan akhlaqul karimah, Itu membuat orang menjadi simpati dan menerima Islam. Penulis: Ismail Asso
Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan (FKMPP) Papua.
Islam tidak asing sehingga orang lain tidak “allergy” dengan islam. Kesan ada islam phobia kelompok lain dan dalam batas-batas tertentu asumsi islam “tercurigai” bagian integral dari kolonisasme.
Solusi Ormas Islam Papua harus turun kebawah. Tidak elitis dan berorientasi kekuasaan pusat. Tapi secara proaktif terlibat dalam kerja-kerja social, pelanggaran HAM dan demokrasi.
Islam harus tampil dalam wajah ramah penuh peduli lingkungan sekitar (rahmatan lil’alamin). Perubahan itu harus muncul dari dalam diri umat islam dan itu waktunya sekarang.
Paradigma baru Ormas islam Papua menjadi penting dan harus menjadi perhatian utama kalangan intelektual muslim Papua.
Kerja-kerja konkrit kemanusiaan apa yang dialami rakyat Papua harus ada kepedulian dari orang Islam Papua.
Mungkin hal ini sudah dicoba lakukan element Majelis Muslim Papua namun sesuatu baik sudah dicoba lakukan bernilai positif harus didukung semua Ormas Islam Papua.
Sebab islam agama beradik kaka dengan agama Yahudi dan Kristen (agama anutan mayoritas rakyat Papua), maka punya potensi hidup rukun dengan ketiga agama besar ini (Yahudi, Kristen dan Islam).
Ketiganya secara historis bersumber semit dari abramic relegion yang memiliki nilai kebenaran bersifat universal tanpa dibatasi sekat-sekat primordialisme.
Islam dianggap asing orang agama lain.
Karena orang tidak bisa membedakan manusia sebagai pribadi dan agama sesuatu yang bersifat nilai berdimensi transcendental.
Persepsi kebobrokan moral manusia disamaratakan dengan agama Tuhan. Umat islam Papua populasinya kian hari kian bertambah besar seiring arus urbanisasi.
Dan itu terjadi sesuai perkembangan waktu dan kebijakan politik pusat. Hal itu seringkali membawa implikasi lain dan baru bersifat positif negatif sekaligus.
Maka umat islam Papua dan keislaman menjadi ciri etika dalam kehidupan bersama Papua kedepan.
Ciri itu lebih khusus, minimal umat islam harus mampu merubah akhlaq. Perubahan dari dalam diri umat sendiri tatkala berjumpa dengan lain dalam alam Papua.
Barangkali jargon idealisme “Papua Zona Damai” yang dimaksudkan para tokoh Papua.
Menurut Sekjen MMP, Anum Siregar gagasan ini bermula Muhammad Thaha Al-Hamid, sesungguhnya sejalan dengan teologi semua agama samawi yang bersumber dari satu budaya semit Timur Tengah.
Dewasa ini populasi umat Islam Papua secara keseluruhan cukup besar bila disatukan, maka kedepan sangat besar pula pengaruhnya.
Muslim urban mendominasi sector perekonomian dan jasa, tersebar diperkotaan seluruh Papua-Papua Barat.
Jika potensi mereka disatukan, maka sangat potensial menjadi penentu kecenderungan kepemimpinan Papua kedepan.
Potensi kaum urban jika dikelola dengan baik maka sangat menetukan pembentukan etika islam.
Untuk itu disini penulis bukan mau menggurui tapi sekedar memberi inspirasi sambil menyadarkan Umat Islam Papua terhindar dari anasir sektarianisme negative, sebagai sumber pemicu terpecahnya potensi Umat.
F. Jahiliyah Modern
Dalam perspektif Islam paguyuban etnis kedaerahan boleh jadi negatif, karena itu gejala jahiliyyah modern.
Berangkat dari beberapa kasus pengalaman mendahului kita, misalnya dalam pemilihan Wali Kota Jayapura sebelum ini Parpol Islam tidak sanggup menghindarkan diri dari kecenderungan intervensi dominasi hegemoni etnis.
Maka yang terpenting saat ini disini untuk kedepan adalah Islam dan umat Islam Papua harus menjauhkan diri dari sentiment primordialisme sempit seperti itu.
Karena hal seperti itu sesungguhnya telah dihapus dengan datangnya Islam. Islam hadir meleburkan semua aspek tatanan nilai sectarianisme primordial itu sebagai ciri masyarakat jahiliyyah pra Islam.
Karena itu umat islam kedepan harus kembali pada nilai-nilai utama islam. Kehadiran Islam telah mereformasi semua aspek primordialisme jahiliyyah pra Islam seperti itu.
Fenomena menjamurnya pembentukan ikatan paguyuban primordial etnis kedaerahan oleh masyarakat urban (pendatang) di Papua selain positif tapi dalam dirinya mengandung sisi negative sebagai gejala bahaya baru.
Karena dalam dirinya menyimpan potensi konflik.
Paguyuban bisa ada manfaatnya apabila tujuan bersama anggota yang ingin dicapai misal arisan bulanan, koperasi simpan pinjam sesama anggota etnik, permodalan usaha uang dari iuran wajib bulanan anggota dan sejenisnya.
Tujuan baik lain agama dalam paguyuban adalah pengurusan mayit, pengajian bulanan dsb.
Tapi tetap ada unsure syubhat-nya (kehati-hatiannya), karena secara aqidah islamiyyah madharatnya (bahaya) lebih besar daripada manfaatnya.
Bahkan dipandang dari sudut pandang aqidah gejala seperti itu dikhawatirkan kemusyrikan modern.
Tapi umat Islam Papua gemar buat paguyuban, padahal itu jahiliyyah modern, dan yang itu telah dihapus Nabi sebagai sebuah kenyataan terlepas dari alasan baik-buruk atau ada tujuan positif diharapkan disana.
Namun jika itu ditunggangi tujuan politik pragmatis maka gejala pengelompokan etnis seperti itu melemahkan dan merugikan umat sendiri.
Karena itu semua paguyuban etnik harus menjaga diri agar keinginan bersama menjadikan wilayah Papua sebagaimana diinginkan para tokoh agama menjadi “Zona Damai” tetap terpelihara.
Mengingat pengalaman daerah lain bentrok antar etnik dan suku, sekedar menyebut contoh paguyuban Madura dan Betawi di Kebayoran Lama Jakarta, Madura dan Dayak di Sambas, Kalimantan Tengah.
Dan dalam skala kecil premanisme berbungkus etnik disejumlah kota Indonesia ditenggarai sebagai biang keladi dan pemicu kekacauan meresahkan warga dikhawatirkan di Papua.
Maka kita perlu mewaspadai bersama akan hal itu. Apalagi dalam situasi politik transisi Papua dewasa ini gejala jahiliyah modern seperti itu senantiasa menyimpan potensi konflik kapan saja diinginkan.
Atau itu bahkan bisa dijadikan sebagai milisi oleh penguasa menunggangi kelompok etnik primordial seperti itu.
Dari sudut pandang ilmu social (sociology) paguyuban etnik adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan HAM.
Paguyuban etnis sebagai akibat wajar adanya kemajemukan (pluralitas).
Institusionalisasi organisasi kelompok masyarakat etnis biasanya untuk menunjukkan eksistensi kewargaan atau keikutsertaan kelompok masyarakat itu kepada kelompok etnis lain dalam kebersamaan warga kota dalam kehidupan bersama disuatu kawasan yang disebut masyarakat kota.
Karena itu paguyuban kesukuan dibentuk didasari oleh kebutuhan seperti itu.
Paguyuban kesukuan di Papua menunjukkan gejala adanya demokrasi dan kebutuhan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) aneka etnis masyarakat kota agar saling mengakui eksistensi diri masing-masing kelompok etnis dalam menata kehidupan bersama untuk hidup berdampingan.
Kata Nabi segala sesuatu tergantung dari niat. Wallahu’alam (Tuhan yang Maha Tahu). (*)