Islam Dan Budaya Papua

Penulis: Ismail Asso
Ketua Forum Komunikasi Muslim Papua Pegunungan (FKMPP)

Samba.id, Opini - Tengku Ali Al Asytar dari Aceh, memberi saran agar saya Istiqomah pada prinsip agama Islam, agama anutan mayoritas rakyat Aceh.


Menurut hematnya muslim Papua diam pada ke-dholim-an asing yang datang hadir di Papua selalu membunuh dan mencuri harta kekayaan West Papua. 


Menurutnya apa yang terjadi di Papua bukan lagi pencurian tapi sebagai “perampokan”! 


Karena apa yang dilakukan Amerika Serikat (PT Freeport), Inggris (PT Britis Petrolium) dan lainnya, atas kekayaan alam Papua, adalah suatu tindakan perampokan didepan mata rakyat Papua sendiri.


Demikian korespondensi pribadi. Tulisan ini rekaman utuh jawaban saya. Tapi ada hal prinsip yang harus diperhatikan yaitu iman Islam. 


Al Ghozali dalam “ihya ‘ulumuddin”, mengatakan iman naik kadang turun. Saya sering keluar dari iman (dogma) ke Adat budaya Papua.


Manusia selalu dan selamanya lemah sekaligus berpotensi benar dan keliru seperti diktum:


“Al insaanu makaanul khoto’ wannisyaan”Artinya: ‘Manusia tempat lupa dan salah’ (Al-Hadits).


Saran agar saya istiqomah dalam pemikiran saya ikuti. Sebab alam pemikiran sebagai bagian dari politice education, terlebih dahulu dibebaskan adalah proyeksi gaya penulisan saya. 


Dan memang saya menulis demikian (maksudnya, moderat) untuk proyek latihan pemikiran (intelectual exercise) masyarakat Papua. 


Namun itu tidak berarti sikap membenarkan kedholiman, tapi moderasi.


Sebab bersikap lurus adalah semangat Adat dan ajaran Islam sekaligus yang saya anut dan saya imani. Seperti Hadits Nabi: 


“Qulil haq walau kaana muuron" Artinya : “Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit”. (Al Hadits).


Islam akomodatif dengan tradisi dan sesuai dengan nilai adat berlaku setempat. 


Dalam Fiqih disebut ‘urf’ dan ‘ihtihsan almursalah’ yaitu hukum diterima dan dijadikan standar dari tradisi.


Sepanjang tidak bertentangan prinsip ‘Aqidah Islamiyyah demi kemaslahan bersama umat manusia.


Islam hadir menyesuaikan diri dengan hukum adat setempat, ‘urf dan ihtihsan. 


Maka menulis semangat adat tidaklah bertentangan dengan Islam. 


Disamping itu secara intrinsik pesan utama Al-Qur’an dilangit ditarik turun ke bumi di bumikan Papua.


Saya ambil kebaikan dari agama bukan pada simbol yang kaku dan rigid tapi nilai kasih sayang bagi seluruh alam (islam rahmatan lil’alamin).


Hal demikian sebenarnya esensi pesan dan tujuan utama Islam hadir dimuka bumi dan demikian dilakukan Nabi adalah futhuh makaah (pembebasan) dari kepercayaan pada berhala.


Saya harus mengambil semua kebaikan agama manapun. Islam sendiri agama kelanjutan Yahudi dan Kristen. 


Rumusan nilai budaya dijadikan standar nilai. Didalamnya semangat liberalisme, demokrasi dan HAM. Adat Budaya sebagai standar nilai fundamental sangat penting. 


Usaha saya mengakrabkan tidak pada simbol tapi nilai kebaikan universal (rahmatan lil'alamin)-nya dari agama manapun. 


Salah satu agama samawi dihadirkan adalah Islam substansif, bukan formalististik. 


Amerika standar nilai adalah kebaikan semua agama (deisme), bukan konservatisme dan simbol agama.


Sebagai kiatnya Adat–Budaya serta HAM dan Demokrasi didahulukan dogma agama apapun di Papua. 


Rakyat Papua tidak boleh diasingkan dari budaya mereka oleh dominasi agama. 


Usaha kontekstualisasi nilai-nilai kebaikan agama, agama apapun pada akhirnya tidak asing. 


Dengan demikian orang merasa antara kebaikan agama dan Adat budaya lokal tidak ada jarak, tidak asing. 


Karena agama apapun esensinya pembebasan, kemerdekaan, kebaikan, kejujuran, keadilan, kemanusiaan. 


Demikian Islam ditampilkan yang memang tujuan kehadirannya rahmatan'alamin, kasih sayang bagi seluruh alam. 


Hal ini tak berbeda kehadiran Yesus Kristus dengan konsep Kasih, sebagai standar nilai, Amerika dengan Protestanisme ethic (etika Protestan). 


Semua nilai kebaikan agama dipungut Amerika, konstitusi negara itu mencerminkan hal ini.


Tidak hanya Protestan atau sesuatu yang baik dari agama Protesten dengan sendirinya kebaikan semua agama.


Demikian khasanah pemikiran theosofi menghadirkan Islam dalam wajah penuh toleran, akomodatif, adaptif, adalah semangat para ulama tasawuf. 


Mereka mencoba menghadirkan Islam tidak seperti ahli syari’ah yang kaku dengan hukum formalistik. 


Bagi para ulama tasawuf yang paling penting adalah nilai, esensi Islam. 


Islam dihadirkan bagaimana substansinya lebih penting daripada legal formalistik, bungkusan, syari’ah. 


Misalnya Syekh Jalaluddin Ar-Rumi, (kitabnya Syamsi At-Tabriz, Fihi Ma Fihi), juga Ibnu Arabi dengan kisah Laila dan Majnun. 


Al-Hallaj dengan konsep Wahdatul Wujud, mati digantung sebagai Yesus Muslim, Robiatul Al-‘Adawiyyah (sufi wanita) konsepnya (agama cinta) mahabbah.


Mansur Al-Hallaj bahkan harus mati diatas tiang gantungan dengan mempertahankan konsep "kasih" yang dimilikinya itu dihadapan kekuasaan ulama syari’ah rasionalistik mu’tazilah. 


Demikian juga sebagaimana Yesus Kristus, yang dia sendiri adalah penembus dosa umat manusia dan hadir kedunia untuk memebebaskan dosa manusia. 


Demikian semua agama semit, menampilkan diri, benar-benar dirasakan manfaatnya, termasuk bangsa West Papua. 


Rosulullah SAW, sendiri bersabda bahwa:“Innamaa bu’istu liutammima makaarimal akhlaaq”. (Al-Hadits). Artinya: “Tidaklah aku ini diutus, kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlaq”.


Esensinya bahwa keutusan atau pesan kehadiran Nabi Muhammad SAW, sebagi nabi terakhir (khotamunnabiyyin), pelanjut dari Nabi sebelumnya seperti Yesus Kristus (Nabi Isa AS dll) adalah menyempurnakan moral (akhlaq).


Kalau jika simbol agama apapun sikap anti pati dari adat budaya manapun coas, kacau, padahal bukan itu tujuan agama sesungguhnya. 


Tujuan agama adalah kemerdekaan, pencerahan, pembebasan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. 


“Kedamaian” adalah nama agama Islam. Islam artinya kedamaian. Tapi umat Islam banyak terjebak pada simbol, syari’ah, bungkusan. 


Bukan Islamnya tapi gambarnya. Bukan damainya, tapi aspek kategorisnya. Saya mencoba mengedepankan isi dari pada bungkusan, substansi daripada simbol. 


Jika sebaliknya maka hasil yang didapati adalah sikap antipati, saya menghindari hal yang demikian dan itu yang penting dilakukan oleh semua agama di Tanah Air Papua.


Saya lebih mengutamakan suatu nilai di luar dari Agama Islam, mungkin, ada kesan demikian, apalagi membaca tulisan saya terlampir ini (Konsep Baru Papua Bangkit), saya jawab ya, harus demikian dulu, memang! 


Saya harus, misalnya lebih mengedepankan Adat dan Budaya Papua dulu, itupun juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama manapun termasuk Islam, dan nilai kebaikan agama apapun. 


Jika ada unsur dari agama yang bertentangan dengan adat (budaya), patut diduga ada pertarungan nilai menghebat tidak nyata, sebagaimana watak itu sebagai akibatnya moralitas runtuh. 


Demikian jugakah yang terjadi dan nyata pada bangsa West Papua dewasa ini? 


Belum ada penelitian tentang ini, tapi patut diduga watak agama yang intolerans terhadap nilai-lokal yang membumi hanguskan nilai Adat-Budaya lokal bertanggung jawab atas runtuhnya moralitas rakyat.


 Dewasa ini akibat agama samawi yang ekspansionis menyebabkan orang Papua goyah dalam menghadapi hidup didunianya sendiri, deprivasion, dislocation dan teralienation. 


Orang Papua tercerabut dari akar-akar budaya dan diri mereka seperti dikatakan Dr. Phil Erari (1999), menjadi manusia aneh, karena mereka tidak lagi menjadi diri mereka sendiri, tapi berfikir, berkehendak, berbicara semua kehendak asing. 


Orang Papua berfikir dan berbicara, tidak dengan pikiran dan bahasa sendiri, tapi berfikir dan berbicara asing misalnya mereka berbahasa Melayu bukan Melanesia/Papua dalam pergaulan publik sebagai salah satu contohnya.


Mereka menjadi makhluk aneh di panet bumi ini, misalnya dalam pembebasan sentiment yang adalah sentiment semitisme yang sesungguhnya kalau disadari adalah asing bagi Papua malah itu menghancurkan budaya dan adat Papua. 


Perjuangan pembebasan yang diperjuangkan tokoh-tokoh Papua bukan kebutuhan Papua tapi semitisme bagi sarjana Kristen, kebutuhan Islam bagi sarjana Muslim, singkatnya perjuangan lebih sebagai perjuangan kebutuhan Yesus bagi Kristen dan Syari’ah bagi Islam. 


Bukan genuin kebutuhan membebaskan Tanah Air Papua. Orang Papua telah dicekoki konsepsi asing, mereka dijauhkan dari adat-budaya, religi asli, dan diri mereka sendiri oleh hegemoni watak ekspanionis agama demikian.


Papuanisasi Nilai Baru


Sabagai halnya HAM atau demokrasi yang berdimensi secular sebagai nilai baru di Papua, nilai-nilai baru dari agama juga, agama apapun di Papua Barat berhak tumbuh dan berkembang asal tidak membumi-hanguskan Budaya Papua. 


Karena itu harus dikreatifitasi dengan pemikiran oleh para pemuka masyarakat agar bagaimana mau dibumikan di Papua. 


Sehingga ada kearifan lokal dalam usaha transformasi nilai baru. Aspek yang mau dipribumisasikan diutamakan adalah Adat-Budaya lokal berhadapan dengan nilai-nilai baru secular maupun agama manapun. 


Demikian harus diutamakan para tokoh pejuang pembebas Tanah Air Papua. 


Oleh sebab itu transformasi tidak memaksakan konsep asing secara mentah tanpa dijinakkan dengan nilai sendiri yang menyebabkan orang Papua kehilangan jati diri dan tercerabut dari akar budaya dan tradisi sendiri.


Usaha mendahulukan Adat dari nilai baru lebih baik misalnya agama plus HAM dan demokrasi secular di Papua akan melahirkan sinkretisme sebagai dampak negatifnya. 


Agama harus diwarnai oleh nilai lokalitas yang genuin. Usaha akulturasi dan inkulturasi demikian sebenarnya sama saja menaklukkan nilai Adat lokal yang pada akhirnya mau dikalahkan. 


Tapi itu lebih baik akibatnya dari pada nilai baru yang resisten dengan sosial budaya lokal yang mengalienasi. 


Tradisi agama yang kekuatannya pada sciptural (kitab tertulis, Injil dan Al-Qur’an), tak terbendung oleh apapun kekuatan nilai lokal pada akhirnya (Ulil Absar Abdallah, Taswirul Afkar, 2003).


Hanya yang mau dihindari sekarang adalah jangan sampai terjadi shock cultur yang diantara dampak negatifnya adalah masyarakat lokal tercerabut dari akar budaya dan diri mereka sendiri. 


Apakah nanti agama atau adat akan mewarnai kepemelukan keagamaan itulah yang harus dibersihkan adalah masalah tersendiri nantinya. 


Sebagaimana pola pembagian proses Islamisasi, Taufik Abdullah, ada empat pola yaitu : 


Pertama, Pola Aceh yang dari perkampungan sehingga Islamisasi menyeluruh sehingga muncul pameo :"Aceh Serambi Mekah". Islamisasi Aceh tuntas.


Kedua, pola Sumatera Barat, memunculkan perang Paderi yang tidak berkesudahan, dan hanya bisa direlai atas campur tangan Belanda, tapi itu hanya dapat menghentikan perang saudara, bukan menyelesaikan masalah, sehingga Pameonya : "Adat bersendikan Syari'ah dan Syari'ah bersendikan Kitabullah". 


Lalu ketiga, model Jawa dan Gowa, Selawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan Kerajaannlah yang memiliki mandat lebih dalam proses Islamisasi, sehingga adat dan budayanya secara simbol terislamkan. 


Sedangkan pola keempat, pola Jawa yang lebih bercampur-baur antara nilai lokal pra Islam (sinkretisme) dengan adat dan budaya sebelumnya, termasuk agama Hindu dan Budha bercampur baur.(Gus-Dur, Membangun Demokrasi, 2001).


Lalu bagaimana dengan Bangsa West Papua idealnya nanti? 


Biar nanti sejarahlah yang akan membuktikan dan berbicara sendiri nanti, apa pola kecenderungan itu nantinya. 


Kewajiban kita hanya mempertahankan Adat-Budaya dari penjajahan budaya asing secular baru misalnya HAM dan demokrasi atau oleh seperti agama, agama apapun. 


Sebagai orang Papua, saya tidak ingin semua nilai baru asing menghegemoni dan akibatnya masyarakat lokal dijauhkan dari diri mereka sendiri dan tercerabut dari tradisi aslinya.  


Sebagai bagian komponent Adat dan Budaya Papua, usaha pemikiran yang saya mau tawarkan disini adalah usaha bagaimana memberi nilai baru dan asing (baca nilai agama dan nilai secular) dengan warna, watak dan bentuk nilai dengan nilai lokal (asli) Papua. 


Karena itu harus diberi “dandanan”, bungkusan, oleh nilai lokal Papua agar masyarakat tidak diasingkan. 


Nilai baru dan asing yang telanjang bulat datang ke Papua harus diberi baju dan dipakaian baju Papua menawan bagaikan keindahan burung cenderawasih.


Namun sebagai Muslim -walau menjadi icon dari adat dan budaya Papua -yang diinginkan adalah pola Aceh, hanya, tidak mudah, pada masa transformasi nilai secular Barat juga Indonesia yang didalamnya Islam sinkretisme ala Jawa. 


Karena itu Islam atau Kristen harus menyesuaikan diri dengan nilai lokal sebagai sesama unsur nilai asing dan baru dalam Adat dan Budaya Papua.


Itulah masalahnya, oleh sebab itu, apalagi ditambah lagi dengan hegemoni budaya Western (Barat) yang berlangsung sekarang tidaklah mudah, memastikan pola mana yang akan menjadi kecenderungan nantinya. 


Tugas para budayawan (didalamnya para da’i dan pendeta) wajib menampilkan nilai kebenaran dan kebaikan agama universal. 


Oleh sebab itu banyak aspek adat dan Budaya Papua yang sama dengan Islam, sebagai pintu masuk untuk menyapa. Contoh misalnya; Konsep poligami.


Kepala Suku beristeri banyak (Islam dibatasi Nabi SAW, hanya 4 isteri saja, mengharamkan nikah mut'ah bagi sunni (?), dan hal yang demikian banyak dilanggar orang West Papua. 


Mereka lebih taat Adat, artinya mereka (orang West Papua), banyak melanggar dan beristeri lebih dari satu yang sesungguhnya bertentangan dengan Agama Barat-Eropa.  


Adat Papua mengajarkan kami, bahwa kedudukan anak, entah dari isteri pertama atau isteri keberapa tidak dipersoalkan sebagai anak dari isteri utama, sehingga kedudukannya tetap istimewa. 


Dari isteri manapun semua anak, apalagi anak lelaki dia berhak mendapat posisi istimewa sebagai pemangku adat.


Lalu yang menjadi masalah adalah persepsi dalam hal kedudukan anak. 


Tatkala Nabi Ibrahim AS, sebagai kakek dari bangsa semit dengan memperanakkan putranya dari isteri Siti Sarah, yaitu Nabi Ishaq AS. 


Mungkin kedudukannya istimewa, sebab dia lahir dari rahim isteri pertama yang bukan budak. Berbeda dengan Nabi Ismail AS. 


Dalam penafsiran umum Nabi Ismail As yang kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW, dianggap inferior (rendah). 


Nabi Muhammad SAW, dianggap sebagai keturunan budak (Siti Hajar). Berbeda Nabi Ishaq AS, dari Ibunya Siti Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim AS yang hanif itu.


Mengapa persepsi umum demikian? Ternyata konsepsi yang dibawa datang adalah agama yang sudah di Romawikan. Konsepsi budak adalah konsep orang Yunani Eropa. 


Kita ingat Filosof Plato yang hampir dijual sebagai budak kalau tidak ditebus dan dibebaskan oleh temannya atau muridnya (Frans Magnis, 1997). 


Artinya bahwa di Papua banyak hal seperti contoh di atas bahwa bertentangan dengan budaya West Papua. 


Berbeda dengan nilai Papua lebih demokratis. Karena kedudukan dadat Papua yang menggunakan nama belakang sebagai (fam), diutamakan adalah anak laki-laki dan nasab dihitung dari ayah.


Bila isteri pertama tidak memberikan anak-laki-laki dari isteri pertama menikah lagi dapat anak kedudukannya bukan anak budak. 


Hal lain yang juga mungkin kejutan bahwa dalam alam pikiran (Adat Budaya-Kaneke) Papua, misalnya di Lembah Balim yang menjadi simbol sesembahan adalah batu hitam (axe). 


Batu ini dimiliki semua lembaga Adat (Kaneke) di Jayawi jaya. Batu ini sebenarnya adalah sama saja dengan hajar aswad. 


Lebih mendekati simbol batu hitam (hajar aswad punya Islam). Walau dalam Islam hajar aswad diciumi ribuan umat Islam dunia itu bukan obyek sembahan.


Bahkan penting diketahui bahwa; humanisme adalah dasar ajaran kaneke (adat). 


Manusia keluar dari satu tempat dan tersebar dimuka bumi (lihat Nasoinalisme Perspektif Budaya Papua dan Kebudayan Jayawi Jaya). 


Kejadian manusia, lebih jauh saya ingin sampaikan di sini bahwa di Papua ada konsep manusia sebagai satu keturunan apapun warna kulitnya. 


Dalam budaya paling asli di seluruh West Papua dan Papua Timur mengakui ini. 


Semua manusia berasal dari dalam Goa dan tersebar keseluruh muka bumi. Sama juga dengan konsep Nabi Adam.


Lebih dari semuanya bahwa konsep Allah satu-satunya sebagai Tuhan ada dalam adat dan budaya Papua. 


Adakah lain selain Islam yang mengakui konsepsi Tuhan satu (tauhid), yang sesuai dengan budaya Papua? 


Saya sangsi, karena itu saya rasa Islam ada banyak kecocokan dengan budaya Papua. 


Hanya masalahnya bagaimana kita menyapa masyarakat adat, dari pintu mana kita masuk menyapa persamaan itu. 


Saya lebih cenderung ke adat daripada simbol Islami yang hanya mendapatkan sikap antipati.


Lalu menyangkut hijrah Nabi ke Habasyah, Etiopia, (Kristen). Bilal Bin Rabah, Luqmanul Hakim yang menjadi nama Surat Alqur'an dan lain sebagainya. Islam banyak kesamaan dengan budaya Papua. 


Demikian dulu, ada banyak ingin disampaikan hanya waktulah yang mencukupkan disini.


Wallahua'lam Bish-shoowab. (*)

Lebih baru Lebih lama