Jamin Tidak Ada Eksekusi, Hanafi Tantang Flora Dialog Pelanggaran HAM


SAMBAR.ID, MANADO, SULUT – Kuasa hukum warga Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH MKn – Hanafi Saleh SH, menjamin tidak ada lagi eksekusi tahap dua, di lahan garapan desa tersebut. 


Pernyataan kedua pengacara kondang itu disampaikan menyusul adanya kekuatiran warga terkait rencana pengembang mendirikan bangunan permanen di lahan seluas 225 hektare yang digarap warga petani selama bertahun – tahun secara turun – temurun. 


“Saya menjamin tidak ada lagi eksekusi. Saya juga menjamin peristiwa pada 7 November 2022 lalu tidak akan terjadi lagi. Saya imbau warga tenang,” ujar Santrawan dan Hanafi, saat bertemu warga Desa Kalasey II, Sabtu (03/06/2023). 


Dasar itulah keduanya mengimbau warga untuk melaporkan jika mendapat intimidasi, ancaman atau tindakan improsedural, baik dari pemerintah setempat atau pun pihak – pihak yang ingin memperkeruh masalah. 


Keduanya mengatakan warga untuk tidak mudah terhasut oleh isu – isu yang sengaja dilontarkan pihak – pihak tidak bertanggung jawab. Sebaliknya Santrawan dan Hanafi mengingatkan warga menyerahkan masalah itu kepada keduanya sebagai kuasa hukum. 


“Tidak ada satu pun pihak yang berani mengeksekusi kembali lahan yang digarap warga. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perkaranya sementara ditangani kepolisian daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut),” tandas keduanya. 


Terkait informasi itu, keduanya merencanakan bertemu pihak – pihak pengambil keputusan untuk tidak lagi melakukan langkah yang sifatnya menciderai warga. Apalagi kata dia, untuk mengeksekusi lahan tersebut tidak mengikat karena tak mengantongi keputusan yang diterbitkan Pengadilan negeri (PN) Manado. 


Kekuatiran itu muncul setelah warga mempertanyakan bakal dibangunnya Sekolah Polisi Negara (SPN) dan gedung rektorat politeknik pariwisata (Poltekpar), Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) dan badan keamanan laut (Bakamla). Disebutkan warga kalau berlanjutnya pembangunan di lahan milik warga itu, menyusul telah adanya pemenang tender. 


Sebelumnya Kepala Biro (Karo) Hukum Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, Dr Flora Krisen SH MH, mengatakan kalau penertiban dilakukan berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 1/1982. 


Dikatakannya, Pemprov Sulut dengan tidak berperkara dengan pihak lain secara perdata, sehingga tidak perlu ada putusan eksekusi dari pengadilan. Sedangkan menyangkut sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang menjadi objek adalah masalah administrasi pemberian hibah dan bukan sengketa kepemilikan. Dengan begitu tidak ada korelasi antara sengketa di PTUN dengan permasalah kepemilikan dari Pemprov Sulut atas SHP Nomor 1/Kalasey. 


“Menyangkut HAM, kalau sudah ada laporan ke divisi profesi dan pengamanan (Propam) Polda Sulut untuk tindakan dari kepolisian dan laporan ke kriminal umum untuk tindakan Pol-PP, akan ditentukan penyidik melalui gelar perkara, untuk menentukan hasil penyelidikan apakah layak untuk disidik dan terbukti pelanggaran HAM,” jelas Flora. 


Menyentil adanya perintah atau izin sepihak dari karo hukum, Flora menegaskan, semuanya berjalan sesuai prosedur. Dia juga mengatakan kalau penertiban itu merupakan program program pemerintah untuk kepentingan umum. 


“Kalau nantinya ada yang keberatan atau pun tanggapan miring terkait tindakan pemerintah silahkan menempuh jalur pidana atau perdata. Karena sudah berproses di kepolisian atas laporan kuasa hukum masyarakat, kita tunggu saja proses selanjutnya,” katanya.  


Menyikapi benar tidaknya pernyataan itu, Santrawan – Hanafi pun tantang Flora berdialog soal dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan ratusan oknum polisi dan Polisi Pamong Praja (Pol-PP), saat melakukan eksekusi.  


Dikatakan sangatlah riskan jika perintah penertiban harus dibarengi dengan insiden penganiayaan terhadap warga yang justru mempertahankan hak lahan mereka yang digarap selama bertahun – tahun. 


“Kami akan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan anarkis yang dilakukan oknum polisi dan Pol-PP. Secara logika tidak mungkin penganiayaan dilakukan jika tidak ada perintah. Jangan karena mereka hanya warga petani, polisi dan Pol-PP bertindak secara membabi buta. Ini namanya eksekusi liar. Kami menduga tindakan anarkis yang dilakukan anggota brigade mobil (Brimob) dan Pol-PP pada tragedi 7 November 2022, atas izin atau perintah Karo Hukum atau Pemprov Sulut,” ketus keduanya. (arthur mumu)

Lebih baru Lebih lama