Sambar.id, Opini - Drama itu rekaan cerita yang berdasarkan karangan belaka. Sedikit mirip dengan dokumenter yang sudah memakai data dan fakta, tapi tetap saja bisa terselip karangan atau rekan.
Jadi agak dungu jika memahami drama itu sebagai kisah nyata yang direka ulang. Karena tidak semua drama itu beranjak dari kisah nyata.
Sebab bisa saja karangan sepenuhnya sang sutradara atau penulis naskah.
Adegan itu sendiri bagian dari pengalaman drama yang terdiri dari berbagai adegan. Jadi bukan keseluruhan drama yang berkusah tentang suatu kejadian atau peristiwa yang saling berkaitan dengan adegan lainnya.
Namanya juga adegan, semacam pilar-pilar yang tidak tunggal dari suatu bangunan drama itu.
Soal fakta itu sangat relatif boleh ada dan boleh juga tidak dalam sebuah drama.
Bahkan, bila mengacu pada kisah drama klasik Yunani kuno, sangat dominan isinya karangan belaka.
Seperti orang yang tertakap basah, korupsi misalnya bisa membuat sejuta dalih bahwa faktanya tidak seperti yang dituduhkan.
Maka itu semacam jurus investigatif reporting seperti yang umum dipakai para jurnalis untuk mengorek atau menelusuri suatu kasus, bisa digunakan dalam berbagai jurus, mengkonfrontir atau menekuni sejumlah saksi yang bisa ikut membuktikan kebenaran dari kebejadan yang bersangkutan, hingga tak bisa berkulit dengan fakta yang mampu dikorelasikan dengan perilaku kebejadannya itu.
Memahami fakta yang dari sebuah drama, tentu saja harus dicerna dengan akal sehat. Namanya juga drama yang hendak diklaim sebagai fakta, tentu perlu diusut kebenarannya.
Sebab pada umumnya drama itu hanya untuk membuat agar pemirsa percaya bahwa apa yang diceritakan itu adalah kajian yang sesungguhnya.
Padahal, realitas yang benar semua itu hanya karangan belaka.
Orang yang bijak, akan selalu mencermati cerita dan drama itu dengan secara kontekstual, karena drama dan cerita itu dengan ruang dan waktu.
Lha, sekarang yang lagi rame di negeri kita adalah "Drama Polisi Menembak Polisi", mungkin bisa dibanding dengan drama Korea (Drakor) yang menjadi kegemaran para Ayah dan Bunda yang asyik menonton setiap hari lewat tayangan televisi nasional yang tampaknya sudah kehilangan arah.
Tapi sekarang, setiap lima menit cerita tentang "Drana Polisi Dari Duren Tiga" itu jadi menempati rating tertinggi selama sebulan ini, terhitung sejak 8 Juli 2022 hingga hari ini, 12 Agustus 2022.
Jadi yang bisa dipetik hikmahnya, penjajahan oleh Drakor yang mengasyik Ayah dan Bunda di rumah dalam mengisi usia pensiunnya, mulai bergeser pada drama nyata yang super hebat, karena ternyata melibatkan banyak petinggi dari instansi Kepolisian yang sesungguhnya sangat mulia dan besar pahalanya jika dilaksanakan dengan baik dan benar.
Sebab tugas mulia Kepolusian kita adalah, mengayomi, melayani dan melindungi masyarakat.
Jadi keseriusan pihak kepolisian membongkar drama besar itu, tidak hanya berpengaruh pada budaya halai Balai Ayah dan Bunda di rumah, lantaran merasa berhak menikmati masa pensiun, tapi idealnya ikut membantu pihak Kepolisian menunaikan tugas dan kewajibannya yang mulia itu, agar kita pun jadi mulia pula.
Dan sikap tegas Kapolri perlu kita apresiasi, bila perlu ikut mengusulkan agar mendapat penghargaan, karena sungguh tidak gampang untuk melakukan bersih-bersih di Instansi Kepolisian yang sangat menjadi dambaan banyak orang.
Setidaknya, cara menonton drama pun patut disinkronkan dengan konteks waktu dan tempat, atau situasi kekinian, supaya tak terjerembab pada dramatikal yang relevan dengan keasyikan diri kita sendiri pada hari ini. Sementara kegaduhan di depan rumah, luput dari perhatian kita.
Begitulah pesan bijak begawan yang tak hendak disebutkan namanya, bahwa hikmah dari "Drama Besar Duren Tiga" yang menghentikan itu bisa dipetik untuk membersihkan pribadi maupun Instansi kita juga agar lebih baik dan bernas -- mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang di sangat dimuliakan oleh Tuhan. Jadi apa alasannya bagi manusia yang tak hendak memuliakan sesama manusia ?
Baluwarti Solo, 13 Agustus 2022
Penulis: Jacob Ereste