Jalan Spiritual Menuju Rumah Tuhan

Sambar.id, Opini - Jalan Spiritual Menuju Rumah Tuhan Tempat Sembunyi Yang Ideal Dari Segenap Bentuk  Ancaman Yang Menakutkan Hari Ini di Negeri Kita


Penyesalan yang tidak pernah selesai ternyata keinginan berbuat baik dan suasana yang  menyenangkan bagi orang banyak. 


Mulai dari membahagiakan keluarga, saudara tetangga dan kawan-kawan yang membutuhkan pertolongan atau bantuan, itulah penyebab utama aku meminta pada Tuhan untuk lebih  dicanangkan umur agar penyesalan atau semacam kekecewaanku dalam hidup ini bisa kutebus.


Kerja keras dan tekun sudah kulakukan dengan ikhlas melampaui masa pensiun bagi orang banyak. 


Tapi bagiku itu semua telah kejadian suatu nikmat sekaligus untuk menjaga diri tetap sehat. 


Setidaknya dari penyakit pikun yang sudah kusadari dan menjadi peringatan untuk diatasi dengan tetap berkreasi dengan beragam macam kegiatan yang bisa menyenangkan orang lain dan juga diriku sendiri.


Tidak jarang pada waktu terluang,  terasa perlu mematut diri, khawatir pada prilaku asyiknya diriku sendiri. 


Kekhawatiran itu, adalah ketakutan terhadap perilaku yang mungkin saja kelukira baik, namun mungkin juga aneh dan lucu atau bahkan janggal bagi orang lain.


Kesadaran pada upaya mematut diri memang acap muncul dari komentar atau seloroh keluarga, kawan dan sahabat dekat yang mungkin terpeleset memberikan sanjungan atau rasa salut dengan kegigihan kerjaku seperti tak mengenal lelah.


Sanjungan dan rasa salut mereka itu, justru harus dijelaskan semacam upaya untuk menjaga stamina diri, bukan hanya fisik tetapi juga psikis serta cara berpikir agar tetap sehat.


Therapy semacam itu acap sulit dimengerti banyak pihak. Terutama dalam gerak dan aktivitas -- baik fisik maupun non fisik -- yang acap melampaui takaran dari kemampuan banyak orang. 


Misalnya ketika menikmati jalan kaki di pasar pagi. Atau, saat ikut berkunjung ke daerah yang sulit Medan lokasinya seperti ke Candi Ceto, atau berdo'a di Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. 


Tata cara dan adat istiadat yang terus  disempurnakan agar dapat membuat banyak orang senang dan gembira, sungguh dilakukan dengan sepenuh hati mulai dari sopan santun dan unggah ungguh terbaik, hingga bahasa ucap dan sapaan yang patut serta seperlunya saja, sehingga tak perlu dianggap cerewet dan bawel seperti kebanyakan orang berusia lanjut, seakan hendak menumpahkan semua ragam pengalaman hidup yang acap dirasa paling menarik untuk diketahui oleh banyak orang. 


Sementara untuk mendengar penuturan pengalaman orang lain justru sebaliknya, dominan tidak dianggap perlu.


Ketangguhan untuk menahan diri pun dalam tata pergaulan sehari-hari mengalah bukan berarti kalah terus dijaga agar tidak terpenting ikut latah dan menunjukkan penyakit sindrom yang maniak pada umumnya di usia senja. 


Sebab pada usia yang semakin merunduk itu, sikap bijak mesti lebih longgar dan lentur, tak lagi  kaku seperti saat idealisme sedang  berada diantara matahari dan rembulan yang sedang mencorong sinar dan cahayanya.


Begitulah sikap ugahari yang sepatutnya mewarnai usia senja. Sebab endapan ilmu, pengetahuan, kesabaran dan kemudahan hati hingga kejembaran jiwa untuk menerima apa yang ada dan seadanya, akan teruji oleh waktu dan tempat dari keberadaan yang tak cuma fisik yang renta, tetapi juga keugaharian dari hati diri sebagai suatu kepribadian yang utuh untuk selalu jadi sandingan yang terbaik atau yang buruk.


Keramahan, rendah hati, gampang menyapa dan disapa, suka menolong, gemar membantu orang lain, murah hati, suka mengulurkan tangan untuk siapa saja yang sedang mengalami kesulitan terutama kesusahan, seperti mimpi yang terus membayangi bayang-bayang di semua tempat dan di semua waktu.


Lalu mungkinkah gejala seperti itu suatu kewajaran bagi setiap orang yang merasa perlu semakin membungkuk tawadduk semacam perilaku yang wajar ketika semakin mendekat kepada Tuhan ?


Meski lelaku kaum sufi itu pada umumnya lebih terkesan asyik dengan dirinya sendiri, toh jalan spiritual yang terjal di era mileneal sekarang ini, akan semakin asyik dan syahdu dinikmati dalam suasana yang gaduh dan hiruk pikuk politik dan ekonomi yang sedang berada pada titik nadir yang mengerikan. 


Setidaknya, untuk mengamankan diri   pilihan tepat untuk sekarang adalah bersembunyi di rumah Tuhan.


Jadi biarlah jalan spiritual yang terjal menuju rumah Tuhan ini menjadi tempat ideal menyembunyikan diri dari segenap ancaman hari ini yang sangat menakutkan. Sebab daya dan upaya hanya mungkin ada jika segera dikirimkan Yang Maha Mulia itu dari langit.

Banten, 5 Agustus 2022


Penulis : Jacob Ereste

Keterangan:

Paparan ini diispirasi oleh Eko Sriyanto Galgendu yang berjuluk Wali Spiritual Nusantara lantaran gerakan dari aktivitas dan gagasannya bersama GMRI serta sahabat dan kerabat spuritual dari berbagai tempat dan waktu dialog informal sepanjang tahun 2020 - 2022.

Lebih baru Lebih lama