Oleh: Sulatin Dajumade |
Sebelum tren wisata menjadi wacana dan program pemerintah watu pajung telah menjadi destinasi andalan bagi masyarakat pesisir sambi rampas.
Hampir bisa dipastikan disetiap tahun tepatnya setelah perayaan idul fitri dan idul adha masyarakat berbondong-bondong ke watu pajung.
Ada yang membawa bekal makanan sendiri dengan tujuan makan siang bersama di watu pajung. Ada pula yang sebentar singgah hanya untuk foto-foto di Watu Pajung.
Dibalik menggeliatnya antusias kunjungan masyarakat ke watu pajung, pemerintah melihat ada peluang pariwisata, alih-alih memajukan pariwisata watu pajung.
Serah Watu Pajung Ke Pemda; Intrik Sekaum Serakah
Dahulu kala, akhir tahun 2015. Tepatnya, senin 17 desember 2015 bertempat di Tompong Desa Nampar Sepang ada sepuluh orang tanpa melalui lonto leok bantang cama (musyawarah) bersama seluruh masyarakat diam-diam menyerahkan kawasan tanah watu pajung tanpa dicantumkan luas (ha) kepada pemerintah daerah untuk kepentingan pariwisata.
Watu pajung merupaka aset desa. Aset milik seluruh masyarakat desa Nanga Mbaur tersebut diserahkan HANYA oleh sepuluh orang kepada pemerintah daerah Manggarai Timur.
Pupus sudah harapan generasi muda untuk mengelolah Watu Pajung dengan seabrek ide dan gagasan yang mereka miliki. Eksistensi generasi muda bagi pemerintah hanya ditawari posisi pekerjaan di rest area watu pajung.
Penyerahan yang diam-diam tersebut belakangan diketahui oleh seluruh masyarakat Nanga Mbaur.
Ibarat pepatah, sepandai-pandainya mengubur bangkai, tetap saja tercium bau busuknya.
Di sore menjelang magrib, saat senjakala ditelan bumi. Saya bertamu ke rumah salah satu petugas pariwisata sambi rampas yang banyak bergiat di watu pajung, beliau adalah Pak Arsyad.
Tujuan silahturahmi saya tersebut sebenarnya rencana kegiatan kemah literasi dan panggung kreasi pemuda yang nantinya diselenggarakan di watu pajung.
Ide tersebut disambut baik oleh Pak Arsyad dan beliau siap berkolaborasi bersama dalam mensukseskan kegiatan tersebut.
Sambil menyeruput kopi hitam yang diseduh oleh anak perempuannya, diskusi kami mulai beragam.
Mulai tentang pengalaman Pak Arsyad selama menjadi tour guide di Labuan Bajo, tentang desa wisata di Manggarai Timur sampai tentang master plan pembangunan pariwisata di watu pajung.
Disinilah, titik mulai diskusi soal watu pajung mengalir deras, seperti aliran sungai wae mbaling.
Saya bertanya datar kepada Pak Arsyad, "Apa betul kawasan Watu Pajung itu sudah diserahkan ke Pemda?"
Tanpa pikir panjang. Spontan Pak Arsyad menjawab, "Iya, Sudah. Saya sendiri hadir pada waktu penyerahan itu."
Mendengar jawabannya, saya kaget. Dalam hati saya membatin, "Apa iya, Watu Pajung diserahkan ke pemda, tapi mayoritas masyarakat Nanga Mbaur tidak tahu."
Mungkin karena Pak Arsyad melihat ekspresi kaget di wajah saya, beliau melanjutkan penuturannya, "Ada di saya dokumentasi penyerahan itu. Dan kawasan itu sudah disertifikat oleh pemda."
Kemudian, Pak Arsyad menunjukan file foto berita acara penyerahan watu pajung itu kepada saya. Secepat itu juga, saya meminta Pak Arsyad agar mengirimkan file foto berita acara tersebut ke nomor wa saya.
Setelah mendapat berita acara penyerahan watu pajung tersebut kami yang bergabung didalam organisasi Gerakan Pemuda Demokratik (GPD) Matim bersama aliansi masyarakat selamatkan Watu Pajung melakukan konsolidasi dan investigasi.
Hasil konsolidasi dan investigasi kami menemukan beberapa fakta;
- Berdasarkan hasil wawancara sdr. Sulatin dengan Bapak Husen Loma selaku Tua Teno yang bertanda tangan didalam berita acara penyerahan tersebut pada hari senin tanggal 16 Agustus 2021 di kediamannya. Beliau memberi keterangan bahwa dia TIDAK HADIR dalam agenda penyerahan pada hari senin tanggal 17 Desember 2015 sebagaimana tertera didalam berita acara tersebut dan beliau mengkonfirmasi bahwa tanda tangan didalam berita acara tersebut BUKAN TANDA TANGAN ASLI miliknya. Dokumentasi wawancaranya ada pada kami.
- Berdasarkan hasil wawancara Sdr. Sulatin dan Sdr. Kamsudin dengan Bapak Remigildun Ndiru selaku Tokoh Muda dalam berita acara penyerahan tersebut pada hari selasa tanggal 17 Agustus 2021 bertempat dirumah miliknya di Nasaret bahwa Dia tidak pernah melibatkan diri dalam agenda penyerahan tanah Watu Pajung. Kami mengkonfirmasi soal tanda tangan miliknya didalam berita acara tersebut, DIA TIDAK MEMBERI JAWABAN. Rekaman wawancaranya ada pada kami.
- Berdasarkan hasil wawancara Sdr. Sulatin, Sdr. Ahmad Hama dan Sdr. Ahmad Ali dengan Bapak Ahmad Ringka selaku Teno yang bertanda tangan didalam berita acara penyerahan tersebut pada hari minggu tanggal 29 Agustus 2021 bertempat di rumah kediamannya Tompong. Beliau memberi keterangan bahwa dialam berita acara penyerahan ini ada hal yang perlu dirubah yaitu batas-batas wilayahnya. Dalam keterangannya batas-batas wilayah bagian selatan dan timur harus dirubah karena tidak sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebelah selatan berbatasan dengan Rana Nelo seharusnya dirubah berbatasan dengan jalan raya terhitung dari 50 M dari bibir pantai. Sedangkan sebelah timur berbatasan dengan tanah milik Yunus Saman seharusnya dirubah berbatasan dengan Watu Pogol. Kami mengkonfirmasi tanda tangan didalam berita acara tersebut beliau tidak member jawaban. Rekaman wawancaranya ada pada kami.
- Berdasarkan hasil wawancara Sdr. Sulatin. Sdr. Ahmad Hama dan Sdr. Ahmad Ali dengan Bapak Abdullah Toke pada hari minggu tanggal 29 Agustus 2021 di rumah miliknya bahwa dalam keterangannya DIA TIDAK HADIR dalam agenda penyerahan Tanah Watu Pajung kepada Pemda Manggarai Timur pada tahun 2015 tersebut.
Kami mengkonfirmasi tanda tangannya didalam berita acara tersebut adalah bukan tanda tangan asli miliknya. Rekaman wawancaranya ada pada kami.
(gambar berita acara penyerahan kawasan watu pajung)
Dari fakta yang kami himpun dilapangan tibalah saatnya kami melakukan advokasi penyerahan watu pajung tersebut.
Jalur non litigasi kami tempuh mulai ke kantor Kecamatan Sambi Rampas , menyampaikan apirasi secara lisan kepada anggota DPRD Dapil IV partai PKS Bapak Jemain Ustman (biasa dipanggil UJE), sampai membuat surat cinta untuk Bapak Bupati Manggarai Timur.
Namun, usaha kami tidak mendapat respon baik dari mereka. Bahkan dihari acara peletakan batu pembangunan rest area watu pajung lobi-lobi terus kami lakukan. Tetap saja pemda kepala batu.
Akhirnya, interupsi penyampaian Bapak Bupati dilayangkan. Kami diusir.
Kami hanya ingin pemerintah memberi ruang demokratis atas polemik watu pajung tersebut. Duduk bersama mendialogkan persoalan ini.
Kami bisa saja membakar ban bekas dan berdemo bahkan sampai aksi anarkisme untuk menggagalkan acara peletakan batu rest area watu pajung.
Karena kami juga ingin kemajuan watu pajung ada keterlibatan pemda didalamnya. Tetapi, bukan berarti penyerahan watu pajung yang cacat formil dan materil tersebut dilupakn begitu saja.
UJE; Wakil Rakyat yang Tidak Jantan
Ada kesedihan tersendiri bagi kami, dibalik polemik watu pajung yang belum menemukan titik terangnya.
Adalah UJE seorang wakil rakyat dapil IV Manggarai Timur yang apatis soal polemik ini. Padahal, polemik watu pajung sudah begitu tenar diketahui khalayak.
Ia masih diam membisu. Sangat disayangkan, posisi dan kekuatannya sebagai wakil rakyat tidak digunakan untuk memperjuangkan jeritan rakyat yang mencari keadilan hukum.
Dalam hal ini, UJE tidak jantan. Kejantanan/Keksatriaan merupakan keistimewaan yang dimiliki manusia merdeka, wabilkhusus seorang pria.
Perihal kejantanan, seorang sufi bernama Qusyairi didalam kitabnya berjudul Risalah berkata;
"Akar dari kejantanan/keksatriaan adalah bahwa hamba itu terus-menerus berjuang demi kepentingan orang lain."
Lebih dari itu, para guru sufi itu mendasarkan kejantanan dengan merujuk firman Tuhan; "jadilah orang yang berdiri tegak dalam keadilan." (Q.S 4: 135)
Polemik watu pajung kini menyibak jubah suci wakil rakyat kita. Wakil rakyat yang seharusnya jantan memperjuangkan aspirasi rakyat dari dapilnya kini loyo dan impoten.
Ruang-ruang demokratis hanyalah mimpi disiang bolong. Penolakan diskusi daring via zoom oleh UJE dan Bupati Matim sebagai narasumber papan atas menandakan matinya demokrasi di Manggarai Timur.
Ah sudahlah. Begitulah mental wakil rakyat di Negeri Antah Berantah ini. Musim pemilihan mengemis suara rakyat, setelah terpilih sibuk dengan suara sendiri.
Diakhir opini ini, saya mengulang kembali pesan bijak UJE kepada saya ketika saya keukeh bertanya soal polemik Watu Pajung untuk kita renungkan bersama;
"Jangan membuat keruh air yang sudah jernih."
Kita semua pasti bertanya;
"Polemik Watu Pajung itu pantaskan dimetaforkan sebagai air jernih? (Latif)